Thursday, May 30, 2013

My Tesis "Chapter Four"


BAB IV
KONSEP PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIPLE INTELLIGENCES DALAM PERSPEKTIF MUNIF CHATIB
A.     Kontekstualisasi Multiple Intelligences (MI) dalam pembelajaran di sekolah
1.      Pembelajaran berbasis Multiple Intelligences di Sekolah
Munif Chatib menjelaskan dalam hal yang terkait dengan masalah pembelajaran berbasis multiple intelligences, bahwa terdapat tiga jenis yang dilakukan dalam pembelajaran yang berbasis kecerdasan majemuk tersebut, yaitu:
a.      Tahap Input (Teknik Multiple Intelligences Research)
Pada tahap Input ini, Munif Chatib menggunakan Multiple Intelligences Research (MIR) dalam penerimaan peserta didik barunya. Proses penerimaan tersebutdilakukan dengan menggunakan sistem kuota artinya apabila sekolah ini berkapasitas 100 peserta didik dalam penerimaan peserta didik barunya, maka ketika pendaftar telah mencapai 100 peserta didik, pendaftaran akan ditutup. Jadi sekolah ini tidak menerapkan tes seleksi masuk dalam Penerimaan Peserta didik Baru.
Kemudian peserta didik baru yang telah diterima akan mengikuti proses Multiple Intelligences Research (MIR). MIR adalah semacam alat riset psikologis yang mengeluarkan deskripsi kecenderungan kecerdasan majemuk anak dan gaya belajarnya. Dan dari analisis terhadap kecenderungan kecerdasan tersebut, dapat disimpulkan gaya belajar terbaik seseorang.
Multiple Intelligences Research (MIR) bukanlah alat tes seleksi masuk sekolah, melainkan sebuah riset yang ditujukan kepada peserta didik dan orangtuanya untuk mengetahui kecenderungan kecerdasan peserta didik yang paling menonjol dan berpengaruh. Melalui Multiple Intelligences Research (MIR), peserta didik dan guru dapat mengetahui banyak hal, seperti grafik kecerdasan peserta didik, gaya belajar peserta didik, dan kegiatan kreatif yang disarankan, yang tentunya berbeda antara satu peserta didik dengan peserta didik lain.
Setiap hasil MIR menyatakan bahwa pada hakikatnya tidak ada peserta didik yang bodoh. Setiap peserta didik pasti memiliki kecenderungan kecerdasan yang merupakan hasil dari kebiasaan-kebiasaan peserta didik tersebut dalam berinteraksi, baik dengan dirinya sendiri (mengenal potensi diri) maupun dengan pihak lain.
Data Multiple Intelligences Research (MIR) ini bertujuan untuk pengetahuan guru dalam mengetahui gaya belajar masing-masing peserta didiknya. Dan menurut Munif Chatib, tidak ada anak bodoh dan tidak ada pelajaran yang sulit. Dari hasil Multiple Intelligences Research (MIR) tersebut guru akan masuk ke dunia peserta didik sehingga peserta didik merasa nyaman dan tidak berhadapan dengan resiko kegagalan dalam proses belajar. PelaksanaanMultiple Intelligences Research (MIR) dilaksanakan pada saat penerimaan peserta didik baru, selanjutnya Multiple Intelligences Research (MIR) dapat dilaksanakan pada setiap tahun kenaikan kelas dan biasanya 3 bulan sebelum kenaikan kelas.
Pada tanggal 19 Oktober 2012, peneliti melakukan tes MIR (Multiple Intelligences Research) yang didalamnya disediakan beberapa pertanyaan oleh Interviewer. Dalam MIR ini terdapat beberapa pertanyaan yang dipertanyakan oleh Misbah Hanim, sebagai seorang yang melakukan Interview di Lazuardi-Next yang bertempat di Jalan Margasatwa No.39 Lantai 2 Jagakarsa Jakarta Selatan. Adapun bentuk pertanyaan yang dilakukan dalam tes MIR tersebut terdapat dalam lampiran tesis ini.
MIR (Multiple Intelligences Research) merupakan instrumen riset yang dapat memberikan deskripsi tentang kecenderungan kecerdasan seseorang.   Setelah dilakukan tes MIR, untuk mengetahui hasil MIR tersebut maka akan dianalisis oleh psikolog yang bernama Mustofa Juhri, dalam jangka waktu maksimal kurang lebih 3 minggu.
Adapun contoh dari hasil tes MIR (Multiple Intelligences Research)  peserta didik terdapat dalam lampiran.
Munif Chatib dalam buku “Sekolah Anak-anak Juara” (2012: 129)menjelaskan bahwa dari hasil tes MIR, maka guru melakukan pemetaan kelas bukan berdasarkan hasil nilai kognitif, abjad, waktu, biaya. Namun, pemetaan kelas tersebut berdasarkan gaya belajar peserta didik.

Gaya belajar menurut Rafy Sapuri (2009: 288) adalah cara yang konsisten yang dilakukan oleh seseorang dalam menangkap stimulus atau informasi, cara mengingat atau berpikir, dan memecahkan soal. Menurut Ferdinal Lafendry dalam workshopnya pada tanggal 19 Oktober 2012 tentang multiple inteligences intermediate mengatakan bahwa Gaya belajar peserta didik sama dengan potensi yang ada pada kecerdasan peserta didik.
Dan pemetaan kelas tersebut inilah yang manusiawi. Artinya, sesuai dengan landasan akademis dan neurologi. Jika ada tiga kelas, maka peserta didik akan dikelompokkan berdasarkan persamaan gaya belajar sehingga tidak ada labelisasi dan tidak ada perbedaan fasilitas. Secara neurologi dikatakan bahwa setiap anak akan mudah menerima informasi dari guru, jika informasi tersebut disampaikan dengan cara yang sesuai dengan gaya belajar peserta didik. Setiap peserta didik punya gaya belajar dan selalu dinamis. Pemetaan kelas berdasarkan gaya belajar yang berbeda dan selalu dinamis. Pemetaan kelas berdasarkan gaya belajar yang dominan menjadi alternatif terbaik sebab guru akan lebih mudah mentransfer ilmu kepada para peserta didik lewat open brain yang paling dominan. Secara akademis, guru terbantu oleh model penerimaan ini sehingga bisa merancang perencanaan belajar yang berisi strategi-strategi mengajar yang sesuai dengan gaya belajar peserta didik.
Guru setelah mengenali gaya belajar peserta didik,  maka akan membuat proses belajar-menajar jauh lebih efektif dan efisien, sehingga menimbulkan pengaruh yang besar terhadap prestasi belajar peserta didik.
b.      Tahap Proses (Teknik Brain, Strategi Mengajar, Produk, Benefit)
Pada tahapan yang kedua adalah tahapan pada proses pembelajaran, dimana nantinya gaya mengajar gurunya harus sama dengan gaya belajar peserta didiknya. Pada tahapan yang kedua adalah tahapan pada proses pembelajaran, dimana nantinya gaya mengajar gurunya harus sama dengan gaya belajar peserta didiknya. Pola kerja sama yang harus diketahui oleh guru adalah proses pembelajaran yang bersifat dua arah pada hakikatnya adalah dua proses yang berbeda: proses pertama, guru mengajar atau memberikan presentasi, dan proses kedua yaitu peserta didik belajar atau peserta didik beraktivitas.
Proses transfer pengetahuan dalam pembelajaran akan berhasil apabila waktu terlama difokuskan pada kondisi peserta didik beraktivitas, bukan pada kondisi guru mengajar. Bagi guru yang sudah berpengalaman menggunakan strategi mengajar berbasis multiple intelligences, waktu guru menyampaikan presentasinya hanya 30%, sedangkan 70% digunakan untuk peserta didik dalam beraktivitas. (Munif Chatib, 2012: 135)
1)      Teknik Brain
Brain atau otak adalah organ yang bilamana dirawat, dijaga dan dipelihara secara serius dan teratur, dapat bertahan sampai lebih dari seratus tahun. Tidak seperti organ tubuh lain, yang kian tua kian rusak, otak justru makin tua makin menunjukkan fungsi yang kian luas dan lebar. Kian tua interkoneksi antar sel saraf (neuron) karena memang pengalaman hidup makin banyak, kian padat dalam otak manusia. (Taufiq Pasiak, 2002: 62)
Tekhnik brain adalah suatu teknik guna untuk mengetahuibagaimana mengenal cara kerja otak peserta didik sehingga memudahkan seorang guru dalam mengkondisikan kelas, dan guru dapat mengetahui bagaimana men-setting kondisi kelas sesuai gaya belajar peserta didik.
Dalam pelatihan multiple intelligences intermediate di Lazuardi-Next Jakarta Selatan, power point (2012: 1-15) pemateri, Ferdinal Lafendry, menjelaskan bahwa guru profesional adalah guru yang benar-benar mengetahui cara kerja otak dalam menyerap informasi. Ada tiga otak dalam satu kepala, yaitu: a) otak reptil (sang penjaga); b) otak limbic (sang pengatur); dan c) neo cortex (sang penjaga).
a)      Otak Reptil (Sang Penjaga)
Otak reptil adalah kemampuan guru dalam mengatur lingkungan dan suasana kelas agar tampak indah, asri dan nyaman. Adapun unsur dari otak reptil yaitu: mengatur fungsi denyut jantung dan pernapasan; melindungi seseorang dari bahaya fisik dengan pendekatan “lari” atau ‘lawan”; pada saat otak reptil aktif, orang tidak dapat berpikir, yang berperan adalah “insting” dan “langsung bereaksi”;  mengendalikan dunia fisik; dan otak reptil aktif bila seseorang merasa takut, stres, terancam, marah, kurang tidur dan kondisi tubuh lelah.

b)      Otak Limbic (Sang Pengatur)   
Otak limbic adalah kemampuan guru untuk membangun emosi positif dan konsep diri peserta didik, terutama pada materi character building. Adapun unsur dari otak limbic yaitu mengatur kekebalan tubuh, hormon, tidur, kebutuhan keluarga, strata sosial, rasa memiliki; mengendalikan dunia emosional dan memori jangka panjang.
c)      Neo Cortex (Sang Pemikir)
Neo Cortex adalah kemampuan guru dalam hal gaya mengajar terhadap peserta didik yang berbasis multiple intelligences. Adapun unsur dari Neo Cortex yaitu bekerja dengan logika; menanggapi dengan pikiran yang beralasan; mengendalikan dunia kreatif.
Penelitian menunjukkan bahwa energi informasi bergerak dari dasar otak (otak reptil) melalui pusat emosi (otak limbic) terus ke bagian atas (neo cortex). Yang artinya, ketika seseorang mempersiapkan diri untuk belajar, maka seseorang harus merasa nyaman secara fisik. Suhu udara, tata cahaya, dan area belajar harus memuaskan otak reptil. Dan seorang guru harus memulai pembelajaran dengan sikap positif untuk memuaskan pusat emosi otak (otak limbic). Ketika dua bagian pertama otak sudah puas, maka otak pemikir dapat bekerja dengan baik.


2)      Strategi-strategi Mengajar dalam Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences
Selama proses belajar mengajar berlangsung, terjadilah interaksi antara guru dan peserta didik, namun interaksi ini bercirikan khusus, karena peserta didik menghadapi tugas belajar dan guru harus mendampingi peserta didik dalam belajarnya.
Dalam strategi mengajar, guru harus membuat lesson plan atau yang biasa disebut dengan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Di bawah ini adalah beberapa strategi mengajar seorang guru dalam pembelajaran berbasis multiple intelligences.
a)      Strategi Mengajar dalam Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Linguistik (Cerdas Bahasa)
Kecerdasan linguistik adalah kemampuan berpikir seseorang dalam bentuk kata-kata, menggunakan bahasa untuk mengekspresikan, dan menghargai makna yang kompleks. (Munif Chatib, 2012: 82)
Adapun strategi mengajar dalam pembelajaran yang berbasis multiple intelligences yang dilakukan oleh seorang guru terhadap peserta didik yang memiliki kecerdasan linguistik ini adalah dengan: 1) Membaca; 2) Menulis informasi; 3) Menulis naskah; 4) Wawancara; 5) Presentasi; 6) Mendongeng; 7) bercerita; 8) Debat; 9) Membuat puisi; 10) Membuat cerpen; 11) Membuat buletin; 12)Tanya jawab; 13) Tebak Aksara; 14) Tebak Kata; 15) Aksara bermakna; 16) Permainan kosa kata; 17) Pantun; 18) Melaporkan suatu peristiwa.
Di bawah ini salah satu contoh dari aktivitas pembelajaran berbasis kecerdasan linguistik, yaitu strategi debat atau diskusi yang dianggap mewakili masing-masing keterampilan reseptif dan produktif.
Munif Chatib dalam buku “Gurunya Manusia”(2012: 143-144) menjelaskan bahwa strategi diskusi adalah aktivitas pembelajaran dengan komunikasi dan interaksi diantara dua orang atau lebih (berkelompok). Pada strategi diskusi, harus terdapat topik berupa masalah yang akan dipecahkan. Adapun prosedur dari strategi diskusi yaitu:
(a)    Kelompok
Para peserta didik seyogianya dibagi menjadi beberapa kelompok. Pembagian kelompok dapat dilakukan beraneka ragam cara. Dalam kelompok inilah, masalah akan dilontarkan dan selanjutnya akan dibahas dalam diskusi kelompok dan antar kelompok.
(b)   Moderator
Moderator yaitu orang yang memimpin jalannya suatu diskusi agar terarah dan tepat waktu. Moderator harus menguasai tahap diskusi, menguasai masalah yang akan didiskusikan, serta dapat mengatur waktu tiap-tiap kelompok melakukan pembahasan, presentasi dan kesimpulan. Dengan adanya moderator, jalannya diskusi akan terarah dan indikator hasil belajar akan tuntas. Moderator dapat dipilih dari salah seorang peserta didik atau guru.
(c)    Notulis
Notulis yaitu orang yang mencatat jalannya diskusi, mulai dari awal sampai tahap kesimpulan. Biasanya, hasil catatan notulis tersebut yang akan digandakan, lalu dibagikan kepada semua peserta didik sebagai catatan hasil diskusi. Notulis dapat dipilih dari salah seorang peserta didik.
(d)   Topik Masalah  
Masalah yaitu topik atau tema pembahasan yang dapat diambil dari indikator hasil belajar dalam silabus. Masalah dapat ditentukan lebih dari satu, dengan pengungkapannya kepada peserta didik harus jelas. Sebaiknya, jangan melemparkan masalah yang tidak dimengerti oleh peserta didik. Oleh sebab itu, guru harus menjelaskan secara detail masalah yang diangkat menjadi topik diskusi.
(e)    Solusi
Solusi yaitu jawaban atau jalan keluar dari masalah yang dibahas dalam diskusi. Solusi ini sebaiknya tidak satu, tetapi beberapa. Dengan adanya pembagian kelompok, diharapkan setiapa kelompok mampu menentukan beberapa solusi dari masalah yang dibahas. Solusi dapat juga dikatakan sebagai kesimpulan hasil diskusi.
Pendekatan multiple intelligences dalam strategi diskusi ini adalah ranah linguistik.Dengan demikian, sangat dimungkinkan berkembang menuju ranah multiple intelligences. Hal demikian ini, dapat terjadi bergantung pada prosedur aktivitas yang dirancang oleh guru.
b)      Strategi Mengajar dalam Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Logis-Matematis (Cerdas Angka)
Kecerdasan logis-matematis adalah kemampuan seseorang dalam berhitung, mengukur dan mempertimbangkan proposisi dan hipotesis, serta menyelesaikan operasi-operasi angka-angka. (Munif Chatib, 2012: 86)
Munif Chatib dalam buku “Gurunya Manusia”(2012:147-149) menjelaskan bahwa strategi action research adalah aktivitas pembelajaran yang meminta peserta didik untuk membuat hipotesis terhadap materi terlebih dahulu. Hipotesis tersebut kemudian dibuktikan dengan pengumpulan data, melakukan analisis dan berakhir dengan kesimpulan. Adapun prosedur dari strategi action research, yaitu:
(a)    Hipotesis
Pada bagian ini, peserta didik diminta untuk membuat pertanyaan-pertanyaan tentang hipotesis suatu percobaan. Jika pertanyaan-pertanyaan itu terjawab, akan terjadi pengungkapan sebuah masalah. Hipotesis ini mengajak para peserta didik untuk ”membuat prediksi” terlebih dahulu. Peserta didik akan masuk ke dalam pengalaman nyata untuk menemukan “sebuah jawaban tentang pengetahuan baru”. Dalam proses belajar pada cerita tadi, misalnya masalah yang ingin diungkap adalah cara mengukur suhu. Masalah itu diungkapkan dengan pertanyaan-pertanyaan hipotesis agar dapat melatih daya pikir kritis peserta didik. Papan hipotesis adalah hal terpenting dari strategi ini. Tanpa diawali dengan hipotesis, strategi action researchini akan gagal.
(b)   Pengumpulan data
Pada tahap inilah terjadi hal yang luar biasa. Peserta didik akan masuk langsung ke dalam sebuah pengalaman yang menakjubkan dan mungkin kali pertama. Pada pengumpulan data ini, dalam papan hipotesis tersebut akan banyak ungkapan: Wow, aha!, Ooo, Yes, Lho Kok. Ungkapan-ungkapan tersebut sebenarnya merupakan hasil sebuah penemuan yang mereka peroleh dari pengumpulan data tersebut.
(c)    Analisis
Tahap analsis dilakukan dengan menganalisis data yang sudah terkumpul. Tahap ini biasanya dilakukan dengan berdiskusi, memilah-milah, dan akhirnya tercapailah sebuah kesimpulan. Tahap ini membutuhkan daya pikir analisis. Biasanya dalam diskusi akan muncul pertanyaan-pertanyaann lanjutan: mengapa, bagaimana, jika, dan lain-lain.
(d)   Kesimpulan
Kesimpulan adalah hasil analisis. Kemampuan daya pikir sintesis sangat terasa dalam tahap ini. Bagian ini sering disebut dengan frasa: Akhirnya, ternyata, sebenarnya, dan lain-lain. Pada proses belajar ini, kesimpulan ditulis di papan tulis dan dalam catatan semua peserta didik.
(e)    Tantangan
Pada tahap tantangan ini, sebenarnya dapat dikatakan menjadi tahap awal kembali. Setiap dibuat kesimpulan, pasti akan ada pertanyaan-pertanyaan pemantik rasa ingin tahu yang lain. Ini hal sehat dan menunjukkan keberhasilan strategi action research.
Pendekatan multiple intelligences dalam strategi action research ini berada dalam ranah logis-matematis. Dengan demikian, sangat dimungkinkan berkembang menuju ranah multiple intelligences. ini dapat terjadi bergantung pada prosedur aktivitas yang selanjutnya akan dirancang oleh guru.
c)      Strategi Mengajar dalam Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Spasial-Visual (Cerdas Ruang dan Gambar)
Kecerdasan spasial visual adalah cara pandang seseorang dalam proyeksi tertentu dan kapasitas untuk berpikir dalam tiga cara dimensi. Kecerdasan ini memungkinkan seseorang untuk melakukan eksplorasi imajinasi, misalnya memodifikasi bayangan suatu objek dengan melakukan percobaan sederhana. (Munif Chatib, 2012: 88)
Munif Chatib dalam buku “Gurunya Manusia”(2012: 186) menjelaskan bahwa strategi movie learning adalah strategi pembelajaran yang mengaitkan konsep pembelajaran dengan tayangan film. Tentunya, target pembelajaran terangkum dalam film tersebut. Strategi movie learning ini sangat berkesan  sebab punya kekuatan emosi. Adapun prosedur dari strategi movie learning, yaitu:
(a)    Konsep
Konsep adalah materi yang akan diajarkan kepada peserta didik, biasanya terdapat dalam indikator hasil belajar.
(b)   Film
Film yang diputar dan menjadi solusi dari materi pembelajaran. Film akan diputar secara utuh atau dipotong-potong, disesuaikan dengan waktu yang tersedia.
(c)    Diskusi
Peserta didik mendiskusikan isi film berkaitan dengan masalah yang sesuai dengan indikator hasil belajar.
Pendekatan multiple intelligences dalam strategi movie learning merupakan ranah spasial-visual. Ranah tersebut sangat mungkin untuk berkembang bergantung pada prosedur aktivitas yang dirancang oleh guru.
d)      Strategi Mengajar dalam Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Kinestesis (Cerdas Olah Tubuh-Jasmani)
Kecerdasan kinestesis adalah kemampuan belajar seseorang lewat tindakan dan pengalaman melalui praktik langsung. Jenis kecerdasan ini lebih senang berada di lingkungan tempat dia bisa memahami sesuatu lewat pengalaman nyata. Kemampuan bergerak di sekitar objek dan keterampilan-keterampilan fisik yang halus dan kemampuan mengolah tubuh ke dalam bentuk gerakan tertentu merupakan pola dasar kecerdasan kinestesis. (Munif Chatib, 2012: 90)
Munif Chatib dalam buku Gurunya Manusia (2012: 166-168) menjelaskan bahwa strategi sosiodrama mempunyai poin-poin penting, yaitu:
(a)    Pameran
Pameran dalam drama dimainkan oleh para peserta didik. Terkadang, tidak semua peserta didik dapat berperan, mungkin hanya sebagian. Namun, peserta didik yang tidak berperan dapat menjadi “penanya” atau “interuptor”. Akhirnya, dapat dikatakan bahwa sebenarnya semua peserta didik dalam sebuah kelas akan kebagian peran, apakah sebagai pemeran dalam drama atau sebagai penonton yang interaktif. Keterlibatan peserta didik untuk memainkan drama dalam materi pembelajaran inilah yang akan membuat proses pembelajaran masuk ke dalam memori jangka panjang peserta didik. Selain tokoh-tokoh yang terdapat dalam materi belajar, pemeran host sangat penting. Fungsi host ini sebagai pemutus cerita agar waktu yang digunakan tidak terlalu lama. Dengan adanya host ini, guru dapat mengatur waktu drama sesuai dengan waktu pembelajaran.
(b)   Skenario atau naskah
Skenario yang digunakan berupa lembaran-lembaran naskah yang berisi kalimat yang harus diucapkan oleh pemeran dalam drama. Terkadang, seorang pemeran bisa beberapa kali mendapatkan bagian di depan panggung. Pada saat peserta didik membaca naskah, sebenarnya yang terjadi dalam proses berpikirnya adalah pemahaman terhadap materi belajar yang luar biasa. Sangat berbeda dengan pemahaman yang didapat dengan cara mendengar atau membaca biasa saja.
Keterlibatan emosi peserta didik untuk berperan menjadi tokoh, secara otomatis menyebabkan peserta didik mempunyai pemahaman materi yang kuat.
(c)    List Skenario (daftar skenario)
List skenario berupa urutan dalam bentuk nomor urut yang mengatur jalannya sosiodrama sejak awal hingga akhir. List skenario ini ditulis diatas kertas dan dipegang oleh guru sebagai sutradara dan berfungsi juga sebagai pengatur waktu selama proses belajar berlangsung sehingga waktu dapat diatur dengan tepat. Sebagian guru menganggap strategi sosiodrama sulit dipraktikkan sebab membutuhkan waktu. Akan tetapi, dengan adanya host dan list skenario, masalah waktu dapat diatasi.
(d)   Teaching aids
Teaching aids dalam strategi sosiodrama dapat beragam; bisa berupa pakaian para tokoh, perangkat yang mungkin digunakan dalam drama, atau gambar-gambar afirmasi (penegasan) yang sesuai. Prinsip teaching aids tersebut sederhana serta tidak membutuhkan biaya yang mahal; dan yang terpenting, menggunakan ‘imajinasi” peserta didik secara optimal untuk menyempurnakan adegan drama. Misalnya, jika pemeran harus menunggang kuda, gunakan kuda imajinasi berupa naik diatas kursi, lalu peserta didik diminta meringkik seperti suara kuda dan berputar-putar berlari mirip orang yang sedang menunggang kuda.
Dengan prinsip imajinasi, segalanya akan bisa dihadirkan dipanggung drama. Teaching aids ini akan menguatkan memori materi yang sedang dipelajari oleh peserta didik.
(e)    Feedback (Pertanyaan umpan balik)
Adapun puncak strategi pembelajaran sosiodrama adalah meminta umpan balik atau feedback kepada peserta didik tentang pelaksanaan sosiodrama dengan cara membuat beberapa pertanyaan tingkat tinggi. Umpan balik sangat penting untuk mengikat pemahaman peserta didik, yang akan menjadi indikator apakah materi yang disampaikan tuntas atau belum. Pengalaman menunjukkan bahwa strategi sosiodrama sangat ampuh untuk mencapai ketuntasan belajar yang terdapat dalam indikator hasil belajar pada silabus.
Pendekatan multiple intelligences dalam strategi sosiodrama ini adalah ranah kinestesis. Ranah tersebut akan berkembang bergantung pada prosedur aktivitas yang dirancang oleh guru.


e)      Aktivitas Belajar dalam Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Musik (Cerdas Musik)
Kecerdasan musik adalah kemampuan seseorang yang punya sensitivitas pada pola titi nada, melodi, ritme, dan nada. Musik tidak hanya dipelajari secara auditori, tapi juga melibatkan semua fungsi panca indra.(Munif Chatib, 2012: 92)
Dalam pembelajaran berbasis kecerdasan musik, seorang guru bisa menggunakan dengan strategi diskografi. (Muhammad Yaumi, 2012: 135) Dalam menerapkan pembelajaran dengan menggunakan strategi diskografi adalah mengaitkan antara materi pelajaran dengan selingan lagu dan musik. Adapun dalam prosedur strategi diskografi adalah:
(a)    Guru menentukan topik pembahasan dan jenis lagu yang dinyanyikan secara bersama-sama.
(b)   Guru menjelaskan materi pembelajaran kemudian diikuti dengan nyanyian yang diangkat sesuai dengan topik pembelajaran.
(c)    Peserta didik dapat mengucapkan lafal-lafal kata tertentu disertai dengan irama lagu yang dibarengi musik (jika diperlukan).
(d)   Guru meminta peserta didik menyanyikan lagu yang terkait dengan materi ajar tersebut untuk memberi penekanan dan dapat dilakukan sendiri-sendiri.
(e)    Guru dapat mengukur sejauhmana materi inti yang disajikan dapat dituangkan melalui lagu.
Dua Mata Saya
Dua Mata Saya
Hidung Saya Satu
Dua Kaki Saya
Pakai Sepatui Baru
Dua Tangan Saya
      Yang Kiri dan Kanan
Satu Mulut Saya
           Tidak Berhenti Makan

Sebagai contohnya adalah peserta didik belajar mengenai pokok bahasan “Tubuh Kita” kemudian menyanyikan lagu yang berjudul “Dua Mata Saya”






Pendekatan multiple intelligences dalam strategi diskografi ini adalah ranah musik. Ranah tersebut akan berkembang bergantung pada prosedur aktivitas yang dirancang oleh guru.
f)       Strategi Mengajar dalam Pembelajaran Berbasis Kecerdasan interpersonal (Cerdas Bergaul)
Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan memahami dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Kecerdasan interpersonal memungkinkan kita bisa memahami dan berkomunikasi dengan orang lain. Termasuk juga kemampuan membentuk, juga menjaga hubungan, serta mengetahui berbagai peran yang terdapat dalam suatu kelompok. (Munif Chatib, 2012: 94)
Munif Chatib dalam buku “Gurunya Manusia”(2012: 187-188) menjelaskan bahwa strategi environment learning adalah strategi pembelajaran dengan mengunjungi suatu tempat yang punya manajemen tertentu. Konsepnya adalah get something, artinya peserta didik akan mendapatkan pengetahuan dan informasi dari lingkungan yang dikunjungi. Adapun prosedur dari strategi environment learning, yaitu:
(a)    Lingkungan yang akan dikunjungi
Lingkungan yang akan dikunjungi dapat disesuaikan dengan silabus atau kompetensi dasar ataupun berdiri sendiri. Lingkungan tersebut dapat dipilih sebab ada kebutuhan yang mendesak atau menjadi tempat kunjungan yang memang penting.
(b)   Ruang Lingkup
Ruang lingkup yaitu pelayanan atau produk dari lingkungan yang dikunjungi. Ruang lingkup inilah yang biasanya menjadi sumber masalah sebab antara kenyataan dan target setiap pelayanan tidak akan sama.
(c)    Laporan
Laporan yaitu peserta didik menuliskan laporan tentang kunjungan ke lingkungan pembelajaran. Laporan berisi hasil wawancara daan identifikasi selama proses kunjungan, juga tentang solusi-solusi masalah yang terjadi.
Pendekatan multiple intelligences dalam strategi environment learningini adalah ranah interpersonal. Ranah tersebut akan berkembang bergantung pada prosedur aktivitas yang dirancang oleh guru.
g)      Strategi Mengajar dalam Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Intrapersonal (Cerdas Diri)
Munif Chatib (2012: 97) menjelaskan bahwa kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan membuat persepsi yang akurat tentang diri sendiri dan menggunakan pengetahuan semacam itu dalam merencanakan dan mengarahkan kehidupan seseorang. Anak belajar melalui perasaan, nilai-nilai, dan sikap.
Dalam pembelajaran berbasis kecerdasan intrapersonal, salah satu aktivitas pembelajarannya adalah dengan menggunakan strategi tugas mandiri. Strategi tugas mandiri adalah belajar yang diarahkan atau dilakukan sendiri (self-directed learning) dengan menyusun tujuan dan batas waktu, mengorganisasi pekerjaan sendiri, mengevaluasi penggunaan waktu, dan mengevaluasi pekerjaan sebagai peserta didik. Istilah belajar mandiri juga disebut studi mandiri yang berbentuk pelaksanaan tugas membaca atau meneliti yang dilakukan oleh peserta didik tanpa bimbingan atau pengajaran khusus (Muhammad Yaumi, 2012: 179-182)
Adapun prosedur dari strategi tugas mandiri, yaitu:
(a)    Guru menyediakan materi atau tugas-tugas pembelajaran, tujuan yang hendak dicapai setelah menyelesaikan pekerjaan tersebut, dan jenis penilaian yang dilakukan untuk mengukur pencapaian hasil yang diperoleh peserta didik.
(b)   Guru membacakan atau memperlihatkan di layar atau papan tulis seluruh jenis tugas pembelajaran yang hendak diselesaikan dengan peserta didik untuk memilih tugas tersebut.
(c)    Guru menjelaskan kembali tujuan yang hendak dicapai untuk masing-masing tugas dan batas waktu untuk menyelesaikannya.
(d)   Peserta didik melaksanakan tugas tersebut sesuai ketentuan yang telah disepakati (jika dilaksanakan di ruang kelas, guru dapat memonitori, tetapi jika dilakukan di rumah, guru memberikan tekhnik pelaksanaan secara tertulis).
(e)    Peserta didik mengoreksi sendiri hasil pekerjaan tersebut sebelum memperlihatkan kepada teman sebaya untuk mengetahui jika terjadi kesalahan penulisan, penempatan, atau berbagai jenis kesalahan lainnya.
(f)     Peserta didik meminta teman sebaya untuk mengedit atau mengoreksi berbagai kesalahan yang telah dilakukan. Hasil koreksi tersebut dicatat kemudian dilakukan revisi.
(g)    Peserta didik menyerahkan tugas yang telah dilakukan untuk mendapatkan penilaian dari guru (tugas tersebut diserahkan sebelum batas waktu yang telah ditentukan)
(h)    Guru memberikan koreksi, penilaian, dan mengembalikan pekerjaan tersebut kepada peserta didik (jika pekerjaan tersebut belum memenuhi standar yang berlaku, guru dapat memberikan kesempatan untuk memperbaiki dan menentukan batas waktu untuk menyelesaikannya).
Pendekatan multiple intelligences dalam strategi tugas mandiriini adalah ranah Intrapersonal. Ranah tersebut akan berkembang bergantung pada prosedur aktivitas yang dirancang oleh guru.
h)      Strategi Mengajar dalam Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Naturalis (Cerdas Alam)
Kecerdasan naturalis adalah jenis kecerdasan seseorang yang erat berhubungan dengan lingkungan, flora dan fauna, yang tidak hanya menyenangi alam untuk dinikmati keindahannya. Akan tetapi, sekaligus juga punya kepedulian untuk kelestarian alam tersebut. (Munif Chatib, 2012: 99)
Munif Chatib dalam buku “Gurunya Manusia”(2012: 184-185) menjelaskan bahwa strategi applied learning adalah strategi pembelajaran yang mengaitkan konsep pembelajaran dengan manfaaatnya untuk kebutuhan sehari-hari. Materi tidak dibiarkan menjadi bentuk abstrak, akan tetapi dapat langsung dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun prosedur dari strategi applied learning, yaitu:
(a)    Konsep
Konsep yaitu materi yang akan diajarkan kepada peserta didik, biasanya terdapat dalam indikator hasil belajar.

(b)   Aplikasi nyata
Konsep tersebut sebisa mungkin dibawa ke dunia nyata sehingga dapat diaplikasikan sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Pendekatan multiple intelligences dalam strategi applied learning ini adalah ranah naturalis. Ranah tersebut akan berkembang bergantung pada prosedur aktivitas yang dirancang oleh guru.
i)        Aktivitas Belajar dalam Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Eksistensialis (Cerdas Spiritual)
Kecerdasan eksistensialis atau cerdas spriritual adalah kesiapan manusia dalam menghadapi kematian. (Munif Chatib, 2012: 101)Dalam pembelajaran berbasis kecerdasan eksistensialis, salah satu aktivitas pembelajarannya adalah dengan menggunakan strategi charity event.
Menurut Muhammad Yaumi (2012: 241-245) menjelaskan bahwa strategi charity event atau panggung beramal adalah salah satu bentuk kegiatan yang biasa dilakukan peserta didik di luar jam pelajaran. Kegiatan ini dilakukan untuk membantu individu, golongan, atau kelompok sosial masyarakat tertentu yang sedang ditimpa musibah atau sedang membutuhkan bantuan. Dengan ikhlas beramal itu diharapkan dapat mengatasi segala masalah yang dihadapi oleh orang tersebut.
Adapun prosedur dari strategi charity event, yaitu:
(a)    Guru menentukan jenis materi pembelajaran yang dapat ditetapkan dengan aktivitas panggung beramal.
(b)   Guru dan peserta didik mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan panggung beramal termasuk bahan, alat, dan penyebarluasan informasi (jika aktivitas tersebut melibatkan masyarakat)
(c)    (Kalau panggung beramal berupa pasar kaget) semua jenis pakaian, perabot rumah (furniture) bekas, dan segala jenis kebutuhan masyarakat yang dijual berasal dari sumbangan orang tua murid atau orang-orang kaya yang siap mendermakan hartanya yang diterima dan dikoordinir sebelum pelaksanaan. Disamping itu, dapat juga dirancang dalam bentuk bazar yang melibatkan masyarakat umum.
(d)   Peserta didik bersama guru melaksanakan aktivitas dengan memperhatikan pokok bahasan dan sub pokok bahasan (sebaiknya dipersiapkan instrumen pengamatan yang terkait dengan jual beli dan keikhlasan beramal sebagai panduan dasar dalam menilai aktivitas peserta didik).
(e)    Keuntungan yang diperoleh dari penjualan barang bekas dan penjualan bazar, kemudian dihitung bersama oleh peserta didik dihadapan para guru.
(f)     Barang-barang bekas yang belum terjual dapat disumbangkan langsung kepada yang berhak menerimanya oleh peserta didik yang dikoordinir oleh sekolah.
(g)    Guru-guru dapat melaksanakan kegiatan bersama untuk mata pelajaran yang berbeda (misalnya mata pelajaran matematika dapat menerapkan operasi bilangan, bahasa Indonesia dapat membangung dialog dan mengarang, IPS dapat melihat jual beli dan mengenal pasar dan sebagainya)
(h)    Peserta didik dapat mengungkap hakekat dari pekerjaan itu dan mengangkat nilai yang terkandung di dalamnya.
Pendekatan multiple intelligences dalam strategi charity event ini adalah ranah eksistensialis. Ranah tersebut akan berkembang bergantung pada prosedur aktivitas yang dirancang oleh guru.
Berdasarkan beberapa strategi mengajar dalam pembelajaran berbasis multiple intelligences di atas tadi. Maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa,  jenis-jenis strategi mengajar yang ada dalam pembelajaran berbasis multiple intelligences diatas tersebut merupakan suatu cara seorang guru dalam menyampaikan materi pelajaran terhadap peserta didik dengan aktivitas pembelajaran yang  menyenangkan tanpa meninggalkan ketiga ranah dalam pembelajaran yang ada pada peserta didik, yakni ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
3)      Produk
Tahap ketiga adalah strategi mengajar yang akan menghasilkan produk nyata dari hasil pembelajaran. Tidak hanya menghasilkan nilai berupa angka di atas kertas, yang kemudian beberapa hari kemudian kertas-kertas tersebut sudah hilang entah kemana.
Hasil proses belajar biasanya hanya ditunjukkan oleh nilai ulangan harian setiap bab dalam bidang studi. Kebiasaan yang dilakukan terus-menerus ini menyebabkan terpangkasnya kreativitas peserta didik. Setiap bab dalam bermacam bidang studi tidak pernah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari sehingga gagal memunculkan kreativitas berpikir dan kemampuan (kompetensi) membuat produk. Semestinya, misi pendidikan yang menerapkan kurikulum adalah menempa para peserta didiknya untuk “bisa apa” tidak hanya sebatas “tahu apa”.
Dalam era globalisasi yang sangat kompetitif saat ini, kompetensi seseorang untuk membuat produk yang inovatif-kreatif dan mampu menyelesaikan masalah adalah skill yang sangat dibutuhkan. Dunia sekolah tidak pernah memberikan pembelajaran dan pelatihan yang dapat menunjang para peserta didik untuk secara kreatif membuat produk. Akibatnya, peserta didik menganggap sekolah adalah tempat yang”mencekoki” informasi sepihak selama bertahun-tahun. Sekolah jarang sekali menjadi ajang untuk kreativitas para peserta didiknya. Sekolah tidak pernah menjadi tempat bagi setiap peserta didik untuk mengaktualisasikan potensi mereka untuk berkarya dalam bidang apapun yang mereka minati. Padahal, kebiasaan untuk penyaluran potensi diri ini akan menjadi faktor utama yang mendukung eksistensi setiap peserta didik dikala harus menghadapi kehidupan bermasyarakat di masa depan.
Contoh seperti halnya sekolah-sekolah, yang begitu banyak kekuatan produk yang dihasilkan oleh para peserta didiknya. Contohnya: Sekolah SMKN 2 Surakarta yang menghasilkan produk berupa mobil Esemka yang kemudian menjadi mobil dinas dan dipromosikan oleh Ir. Joko Widodo, Wali Kota Solo yang kini tengah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Munif Chatib dalam buku “Sekolahnya Manusia” (2012: 146-147) menjelaskan bahwa produk hasil belajar merupakan hasil belajar yang melahirkan karya baru yang berkaitan dengan materi pembelajaran. Adapun yang termasuk dari produk hasil belajar, yaitu:a) Benda/karya intelektual yang dapat ditampilkan; b) Penampilan; dan c) Proyek edukasi.
Di bawah ini merupakan penjelasan dari produk hasil belajar
a)      Benda/karya intelektual
Benda/karya intelektual adalah karya-karya kreativitas peserta didik yang dapat ditampilkan dan punya manfaat langsung. Adapun jenis dan contohnya, diantaranya yaitu: majalah sekolah, buku harian sekolah dalam bahasa inggris, buku profil teman atau guru, fotografi, rekaman video event-event sekolah, koleksi, patung, buku tempel (scrapbook), lukisan, busana, makanan, dan novel atau cerpen.
b)      Penampilan
Penampilan adalah karya yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan kemampuannya di depan publik. Adapun jenis dan contohnya, diantaranya yaitu: grup musik, mini drama, kesenian khas daerah, dan prediksi ilmuwan.
c)      Proyek edukasi
Proyek edukasi adalah sebuah proyek yang berkaitan dengan peningkatan kualitas pengetahuan peserta didik yang diawali dengan pencarian masalah, perencanaan, pelaksanaan, pelaporan hasil dan evaluasi. Adapun jenis dan contohnya, diantaranya yaitu: proyek kotaku bebas buta huruf, proyek penelitian penyakit demam berdarah, proyek bantuan bencana alam, proyek penelitian situs bersejarah, proyek solusi kemacetan kota, dan proyek pameran pendidikan, budaya dan industri.
Dalam sebuah seminarnya, Seminar Studium General Fakultas Tarbiyah di IAIN Syekh Nurjati Cirebon tepatnya pada tanggal 8 Oktober 2012 dengan tema : Mewujudkan Gurunya Manusia,  Munif Chatib, Pakar Multiple Intelligences di Indonesia dan penulis berbagai buku tentang Multiple Intelligences (Sekolahnya Manusia, Gurunya Manusia, Orangtuanya Manusia dan Sekolah Anak-anak Juara) menjelaskan bahwa produk hasil belajar peserta didik bisa dilihat dalam sebuah pameran sekolah yang dengan sengaja diadakan oleh para wali kelas, pada saat guru akan mengadakan pembagian rapot atau dilakukan pada saat kenaikan kelas peserta didik.
4)      Benefit
Arti dari benefit adalah daya manfaat ketika produk-produk yang berhasil dibuat para peserta didik dapat bermanfaat.
Ada beberapa asas manfaat, yaitu: Yang Pertama, produk tersebut bermanfaat dengan dipamerkan kepada banyak orang. Contohnya, pameran produk pada saat penerimaan rapot enam bulanan (semester) atau tahunan. Kedua, Produk tersebut bermanfaat untuk sebagian orang. Contohnya adalah ada seorang peserta didik TK-A membuat tempat bolpoin dari gelas kaca yang dilukis dengan jari mungilnya, lalu menghadiahkan kepada ayahnya agar dipakai di meja kerja di kantor. Dan yang Ketiga, Produk tersebut bermanfaat bagi banyak orang, bahkan ada akibat duplikasi. Contohnya adalah pembuatan laptop rakitan oleh peserta didik dari SMK.
Adapun benefit atau manfaat dengan adanya pembelajaran berbasis multiple intelligences adalah:
a)      Bagi guru, manfaat yang dapat diperoleh dalam pembelajaran berbasis multiple intelligences adalah memiliki special moment dan strategi –strategi mengajar yang bisa terkumpul dalam kumpulan sebuah lesson plan atau biasa disebut dengan RPP. Dalam pembelajaran berbasis multiple intelligences ini, guru memberdayakan seluruh potensi kecerdasan yang dimiliki oleh peserta didik dengan baik. Guru dapat memantau perkembangan peserta didik dan membantu mengembangkannya. Kemudian, guru juga dapat mengetahui kecenderungan kecerdasan peserta didik. Dan dalam pembelajarannya akan tercipta suasana yang menyenangkan, karena  ilmu masuk ke otak peserta didik tanpa disadari.
b)      Bagi peserta didik, manfaat yang dapat diperoleh dalam pembelajaran berbasis multiple intelligences adalah berupa life skill, karena peserta didik dalam kegiatan belajarnya, guru selalu menggali potensi multiple intelligences nya oleh guru berdasarkan kecerdasan dominannya yang sudah terlihat sebelumnya dalam sebuah tes yang bernama MIR. Peserta didik senang dan lebih berkembang kreativitasnya.

c)      Orangtua merasa senang karena anaknya diistimewakan.
Peneliti berkesimpulan bahwa pada tahapan yang kedua adalah tahapan pada proses pembelajaran, dimana nantinya gaya mengajar gurunya harus sama dengan gaya belajar peserta didiknya. Disinilah letak keampuhan strategi multiple intelligencesyang jumlahnya beragam. Jika dalam kelas terdapat anak yang slow learner, maka guru menggunakan pendekatan individual. Guru harus menjadi katalisator dan fasilitator. Ujung dari proses belajar adalah semua peserta didik diharapkan mampu membuat produk-produk yang luar biasa.
c.       Tahap Out Put (TeknikAuthentic Assessment)
Pada tahap output merupakan tahap terakhir dari tiga tahap penting pembelajaran multiple intelligences di sekolah. Pada Output, adalah proses penilaian dari proses pembelajaran.Dalam pembelajaran berbasis multiple intelligences ini, maka penilaiannya yaitu dengan menggunakan penilaian autentik. Penilaian autentik adalah sebuah penilaian terhadap sosok utuh seorang peserta didik yang bukan diukur dari segi kognitifnya saja melainkan juga diukur dari segi afektif dan psikomotorik peserta didik.
Pembelajaran berbasis multiple intelligences dalam penilaiannya adalah bahwa: Setiap aktivitas peserta didik dinilai tiga ranah, yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif. Soal-soal tesnya sangat manusiawi dan banyak dengan menggunakan metode open book. Karena sejatinya soal yang berkualitas adalah soal yang bisa dijawab oleh peserta didiknya.Paradigma yang paling mendasar dari konsep pembelajaran berbasis multiple intelligences ini adalah perubahan konsep tentang makna kecerdasan secara mendasar yang berbeda sama sekali dengan konsep-konsep sebelumnya. Bahwa kecerdasan seseorang tidak dibatasi pada tes formal (tes IQ, EQ dan sejenisnya), setiap peserta didik adalah juara dengan cara yang berbeda. Setiap peserta didik akan diperlakukan secara spesifik berdasarkan ragam kecerdasan dan gaya belajarnya, sehingga memungkinkan tercapainya tujuan pembelajaran dengan baik.
Penilaian dalam pembelajaran berbasis multiple intelligences dilakukan dengan penilaian Autentik. Penilaian Autentik adalahpenilaian yang pada dasarnya memotret tiga ranah kemampuan peserta didik, yaitu: yaitu ranah afektif, ranah psikomotorik dan ranah kognitif. Penilaian autentik menganut konsep Ipsative, yaitu perkembangan hasil belajar peserta didik yang diukur dari perkembangan peserta didik itu sendiri sebelum dan sesudah mendapatkan materi pembelajaran. Perkembangan peserta didik yang satu tidak boleh dibandingkan dengan peserta didik yang lain. Oleh karena itu, penilaian autentik tidak mengenal ranking. Dengan ranking, hanya eksistensi peserta didik tertentu saja yang dihargai, sedangkan yang lainnya tidak mendapat perhatian dari guru.
Setiyo Iswoyo seorang pemateri dalam pelatihan multiple intelligences intermediate pada tanggal 19 Oktober 2012 yakni mengemukakan bahwa dalam pembelajaran berbasis multiple intelligences ini adalah tidak mengenal adanya sistem peringkat atau rangking, karena dalam penerapan pembelajaran berbasis multiple intelligences adalah guru menganggap semua anak adalah juara. Dan Jikalau guru terpaksa ingin membuat sebuah peringkat untuk anak, maka semua peringkat harus ada pada diri peserta didik. Dengan cara mengkategorisasi bidang, misalnya: kategori peserta didik dalam bidang disiplin, kategori peserta didik dalam bidang kebersihan, kategori peserta didik dalam bidang kerapihan, dan lain sebagainya tergantung gurunya.
1)      Metode Penilaian Autentik
Metode penilaian autentik sangat berkaitan dengan aktivitas pembelajaran. Semakin banyak aktivitas pembelajaran mampu dinilai dalam portofolio, semakin baik pula hasil pembelajaran tersebut.
Hal-hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam metode penilaian autentik adalah: a) dalam penilaian autentik, kemajuan peserta didik dilihat dari kompetensi peserta didik tersebut dalam menerima pembelajaran. Kompetensi peserta didik dapat dilihat dari keseluruhan proses pembelajaran; b) pada saat sebuah proses pembelajaran berlangsung, saat itulah waktu yang sangat pas untuk mengambil penilaian. Dengan demikian, pada saat selesai mengajar, guru tersebut sudah mendapatkan nilai dari proses pengajaran. Penilaian dilakukan pada proses pembelajaran, bukan akhir pembelajaran; c) dengan  paradigma baru ini, penilaian peserta didik dilakukan setelah proses pembelajaran sehari-harinya. Pada saat sebuah sistem sekolah ingin mengetahui bagaimana penilaian peserta didik pada tiga bulan, enam bulan, atau satu tahun pembelajaran, maka dipakai metode average  (rata-rata) dari kompetensi yang terangkum dalam portofolio; d) model pelaporan menggunakan penilaian autentik dapat dilakukan sewaktu-waktu, tidak harus menunggu tiga bulan, enam bulan, atau satu tahun.
2)      Alat Penilaian Autentik
a)      Penilaian Kognitif
Kompetensi ranah kognitif meliputi tingkatan menghafal, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, menyintesis, dan mengevaluasi. Adapun alat penilaian kognitif, diantaranya yaitu:
Pertama, tes lisan. Tes lisan tersebut berupa pertanyaan lisan yang digunakan untuk mengetahui daya serap peserta didik terhadap masalah yang berkaitan dengan kognitf.
Kedua, tes tertulis. Tes tertulis dilakukan untuk mengungkap penguasaan peserta didik dalam aspek kognitif mulai dari jenjang pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, sampai evaluasi. Bentuknya dapat berupa isian singkat, menjodohkan, pilihan ganda, uraian objektif, uraian non objektif, hubungan sebab akibat, hubungan konteks, klasifikasi atau kombinasinya.
Skala penilaian dari ranah kognitif yang berupa tes lisan dan tes tertulis bergantung pada subjektivitas guru. Adapun indikator skala penilaian dalam ranah kognitif, meliputi:
Pertama, indikator skala penilaian tes lisan yaitu: salah dan benarnya jawaban peserta didik; kualitas jawaban peserta didik, termasuk alasan apabila peserta didik menjawab benar atau salah.
Kedua, indikator skala penilaian tes tertulis yaitu: perbandingan antara jumlah soal yang benar dan jumlah soal.; kualitas jawaban peserta didik dalam menjawab pertanyaan esai.
b)      Penilaian Psikomotorik
Kompetensi ranah psikomotorik meliputi kompetensi yang dapat diraih dengan aktivitas pembelajaran bukan tes, melainkan sebuah aktivitas yang memerlukan gerak tubuh atau perbuatan, kinerja (performance), imajinasi, kreativitas, dan karya-karya intelektual.
Adapun alat penilaian dalam ranah psikomotorik ini, yaitu:
(1)   Tes kertas dan pensil
Walaupun bentuk aktivitasnya seperti tes tertulis, yang menjadi sasarannya adalah kemampuan peserta didik dalam menampilkan karya, misal berupa desain alat, desain grafis, dan karya sastra.
(2)   Tes Identifikasi
Tes ini ditujukan untuk mengukur kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi sesuatu, misalnya kemampuan peserta didik menemukan unsur-unsur yang terkandung dalam sampah, atau kemampuan peserta didik menemukan dan membagi kelompok masyarakat berdasarkan pemahamannya terhadap pendidikan.
(3)   Tes Simulasi
Tes simulasi merupakan aktivitas yang mencontoh sebuah manajemen yang real untuk disimulasikan dalam kelas dengan batasan aturan-aturan yang berlaku sebenarnya. Alat peraga yang dipakai berupa alat tiruan atau imajinatif.
(4)   Tes work-sample and project
Tes work-sample and project adalah penilaian yang dilakukan kepada peserta didik untuk menunjukkan apakah peserta didik mampu menggunakan alat sesungguhnya dalam hubungannya dengan materi pendidikan. Contoh: apakah peserta didik mampu melakukan pengamatan dengan mikroskop, menggunakan aplikasi komputer, mengoperasikan sebuah mesin kerja. Sedangkan proyek adalah kemampuan peserta didik untuk membuat atau membangun sesuatu: membuat peta relief, dan lain-lain.
Adapun skala penilaian ranah psikomotorik yaitu: penentuan rubrik penilaian, penentuan angka skala penilaian, dan pencataatan hasil aktivitas. Sedangkan contoh portofolio psikomotorik terdapat dalam lampiran tesis ini.
c)      Penilaian Afektif
Kompetensi ranah afektif meliputi peningkatan pemberian respons, sikap, apresiasi, penilaian, minat dan internalisasi. Penilaian afektif terutama bertujuan untuk mengetahui karakter peserta didik dalam proses pembelajaran dan hasil dari pembelajaran dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
(1)   Penilaian afektif pada saat proses belajar berlangsung.
(2)   Penilaian afektif di luar proses belajar didalam sekolah.
(3)   Penilaian afektif di luar sekolah atau di rumah.
Setiyo Iswoyo dalam pelatihan multiple intelligences intermediate pada tanggal 19 Oktober 2012 menjelaskan bahwa dalam penilaian afektif, tidak mungkin semua peserta didik dinilai satu-satu. Namun, agar mudah menilainya, di dalam satu ruangan kelas, maka seorang guru dapat melakukan penilaian pada ranah afektif ini, yaitu dengan melihat peserta didik yang melanggar sebuah peraturan yang telah di tetapkan sebelumnya.
B.     Standar Keberhasilan dalam Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences
Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran berbasis multiple intelligencesini dipengaruhi oleh seberapa jauh pembelajaran tersebut direncanakan sesuai dengan kondisi dan potensi peserta didik (minat, bakat, kebutuhan dan kemampuan).
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus dikuasai peserta didik sudah tertulis dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada setiap mata pelajaran yang terpisah satu dengan yang lainnya. karena pembelajaran yang baik dan efektif adalah yang mampu memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik secara adil dan merata (tidak diskriminatif), sehingga mereka dapat mengembangkan potensinya secara optimal. (E. Mulyasa, 210: 28)
Munif Chatib dalam sebuah seminarnya, Seminar Studium General Fakultas Tarbiyah di IAIN Syekh Nurjati Cirebon tepatnya pada tanggal 8 Oktober 2012 dengan tema : Mewujudkan Gurunya Manusia,  Munif Chatib, Pakar Multiple Intelligences di Indonesia dan penulis berbagai buku tentang Multiple Intelligences (Sekolahnya Manusia, Gurunya Manusia, Orangtuanya Manusia dan Sekolah Anak-anak Juara) menjelaskan banyak materi tentang multiple intelligences.Ketika sampai pada sesi pertanyaan dalam seminar tersebut, peneliti sempat mengajukan beberapa pertanyaan. Salah satu yang menjadi pertanyaan bagi peneliti adalah “Bagaimana standar keberhasilan dalam pembelajaran berbasis multiple intelligences?”
Munif Chatib menjawab: “Standar keberhasilan pembelajaran berbasis multiple intelligences adalah ketika semua indikator hasil belajar peserta didik tersebut tuntas. Dan ketuntasan itu dibuktikan dengan penilaian Autentik. Penilaian Autentik adalah penilaian yang pada dasarnya memotret tiga ranah kemampuan peserta didik, yaitu: Yang Pertama, ranah Afektif (Pola Sikap). Kedua, ranah Psikomotorik (Pola Tindak). Kemudian yang Ketiga, adalah ranah Kognitif (Pola Fikir).
Akhirnya peneliti dapat memberikan sebuah kesimpulan bahwa pembelajaran berbasis multiple intelligences merupakan suatu proses kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh guru terhadap peserta didik yang dalam proses kegiatan belajar mengajar tersebut guru mengubah paradigma dengan menganggap bahwa tidak ada peserta didik yang bodoh, sebab setiap anak pasti memiliki minimal satu kelebihan. Dalam hal ini, istilahnya tidak ada produk yang gagal karena setiap peserta didik cenderung memiliki potensi kecerdasan dan kecerdasan tersebut bersifat jamak. Dalam pembelajaran berbasis multiple intelligences ini, semua peserta didik diperlakukan istimewa oleh sang guru. Dalam mengajar pun, sang guru mengikuti gaya belajar peserta didik. Karena gaya mengajar guru sama dengan gaya belajar peserta didiknya. Adapun kaitannya dalam hal ini, sungguh pembelajaran berbasis multiple intelligences ini bertolak belakang sekali dengan sistem pembelajaran yang ada dalam budaya pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia, masih banyak guru yang mengagung-agungkan dengan melihat peserta didik dari aspek kognitifnya saja. Sedangkan aspek afektif dan psikomotor menjadi aspek yang kesekian kali setelah aspek kognitif.















0 comments: