BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu
kunci kemajuan, semakin baik kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh
suatu bangsa, maka akan diikuti dengan semakin baiknya kualitas bangsa
tersebut. Di Indonesia pendidikan sangat diutamakan, karena pendidikan memiliki
peranan yang sangat penting terhadap terwujudnya peradaban bangsa yang
bermartabat. Begitu pentingnya pendidikan, sehingga tujuan pendidikan telah
diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yakni Nomor
20 tahun 2003 pasal 3:
Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartarbat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab (Depdiknas, 2003: 9)
Didalam pendidikan, tentu adanya
sebuah interaksi edukatif yakni terjadinya proses kegiatan belajar mengajar
antara seorang guru dan peserta didik. Proses belajar mengajar yang terjadi di dalam
kelas tentu tak lepas dari adanya peran seorang guru, dimana peran guru tidak
dapat diganti oleh piranti elektronik semodern apapun. Hal demikian tersebut, disebabkan
bahwa dalam proses belajar mengajar di kelas, yang diharapkan adalah bukan
hanya menyampaikan bahan belajar, melainkan guru tersebut memiliki peranan sebagai
pembimbing, pendidik, mediator, dan fasilitator.
Selain itu, karena urgennya sistem
pembelajaran dalam meningkatkan kemajuan peserta didik di dalam suatu lembaga
pendidikan. Mohamad Surya (2004:7) mengemukakan bahwa dalam keseluruhan proses
pendidikan di sekolah, pembelajaran merupakan aktivitas yang paling utama. Ini
berarti bahwa keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan banyak tergantung
secara efektif. Apakah pembelajaran itu?
Pembelajaran adalah seperangkat
tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar peserta didik, dengan
memperhitungkan kejadian-kejadian ekstrim yang berperanan terhadap
rangkaian kejadian-kejadian intern yang berlangsung dialami peserta
didik.
Dalam melaksanakan pembelajaran,
agar tercapai suatu hasil yang lebih optimal, maka ada yang perlu diperhatikan
beberapa prinsip pembelajaran. Salahsatu dari prinsip pembelajaran adalah
menarik perhatian (gaining attention)
yaitu hal yang menimbulkan minat peserta didik dengan mengemukakan sesuatu yang
baru, aneh, kontradiksi atau kompleks.
Penulis dapat menyimpulkan bahwa
pembelajaran berbasis multiple
intelligences adalah suatu pembelajaran yang dilakukan oleh para pendidik dengan
cara memperlakukan semua peserta didik dengan perlakuan yang sama dan istimewa.
Tidak ada peserta didik yang bodoh dan semua peserta didiknya merasakan semua
pelajaran yang diajarkan mudah dan menarik. Hal ini dikarenakan bahwa semua
peserta didik memiliki kecerdasan, dan kecerdasan tersebut bukan bersifat
tunggal, artinya seseorang cenderung memiliki potensi kecerdasan. Dalam hal ini Munif
Chatib mengemukakan suatu konsep multiple
intelligences dengan merujuk pada sebuah teori dari ahli psikologi yang
bernama Howard Gardner.
Adapun
kenyataan di lapangan yang terjadi pada lembaga pendidikan di Indonesia adalah
bahwa sebagian besar di Indonesia terdapat lembaga pendidikan yang belum
memakai sistem pembelajaran yang berbasis multiple
intelligences dengan benar, hal
ini terbukti bahwa sebagian besar para pendidik di Indonesia, masih memakai
sistem pembelajaran yang hanya menuntut kepada peserta didiknya untuk memiliki
satu kecerdasan tunggal yakni kecerdasan intelektual bukan kecerdasan majemuk.
Kecerdasan
intelektual adalah keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak
secara terarah, serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif.
Sedangkan kecerdasan majemuk adalah bahwa manusia tidak mempunyai satu
inteligensi, tetapi malah memiliki banyak inteligensi (multiple intelligences), yang berbeda antara satu sama lain.
Munif Chatib dalam buku Gurunya Manusia
(2012:133) menjelaskan bahwa orangtua dan guru yang kurang kreatif mengikuti
kemauan otak anak yang sedang berkembang pesat.
Orang tua dan guru seyogianya hanya berpikir dan melakukan “tindakan
pengamanan” tanpa harus mencegah aktivitas anak yang ingin mengetahui sesuatu.
Karena anak-anak memiliki kecerdasan yang beragam.
Berdasarkan
kurangnya pemahaman pendidik terhadap penerapan sistem pembelajaran yang
berbasis multiple intelligences di
Indonesia dengan benar, maka Munif Chatib seorang pakar multiple intelligences telah datang ke Indonesia dengan membawa
sebuah terobosan baru dalam dunia pendidikan, terutama dalam aspek
pembelajaran. Dan kini, Munif Chatib masih dan sedang melakukan penerapan
sistem pembelajaran yang berbasis multiple
intelligences ke berbagai lembaga pendidikan di Indonesia dari satu tempat
ke tempat yang lain. Dengan adanya Munif Chatib dalam kegiatan pelatihan dan
seminar di berbagai tempat lingkungan pendidikan, tiada lain adalah bertujuan untuk
mengubah pola pemikiran para pendidik di Indonesia.
Munif Chatib menjelaskan bahwa hampir semua
sekolah yang telah dijadikan objek penelitiannya tersebut telah terjebak pada
pemahaman bahwa multiple intelligences adalah bidang studi.
Kesalahpahaman ini dimungkinkan karena kemiripan istilah antara jenis
kecerdasan yang dimunculkan oleh Howard Gardner dan nama bidang studi. Misalnya
kecerdasan matematis-logis disamakan dengan bidang studi matematika; kecerdasan
linguistik dianggap bidang studi bahasa Indonesia; kecerdasan musik dianggap
bidang studi SBK (Seni Budaya Keterampilan); dan kecerdasan kinestetis adalah
bidang studi olahraga; dan seterusnya. Pemahaman yang benar, harus bermula dari
definisi sejarah “penemuan” multiple intelligences yang awalnya
merupakan teori kecerdasan dalam ranah psikologi. Ketika ranah tersebut ditarik
ke dunia edukasi, MI menjadi sebuah strategi pembelajaran untuk materi apapun dalam semua
bidang studi. Inti dari strategi pembelajaran ini adalah bagaimana guru
mengemas gaya mengajarnya agar mudah ditangkap dan dapat ditangkap oleh peserta
didiknya. Pendalaman tentang strategi pembelajaran ini akan menghasilkan
kemampuan guru membuat peserta didik tertarik dan berhasil dalam belajar dengan
waktu yang relatif cepat.
Munif Chatib dalam bukunya “Sekolahnya
Manusia” (2012: 80) menjelaskan bahwa pada saat multiple intelligences
ditarik ke dalam ranah edukasi, paradigma pendidikan pun mengalami banyak
koreksi. Ia pun menyadari betul, bahwa dalam penerapan multiple
intelligences dalam dunia pendidikan, terutama untuk pembelajaran berbasis multiple
intelligences yang ada di Indonesia, akan mengalami tantangan dan hambatan
besar. Namun, dengan adanya referensi dari para tokoh multiple intelligences,
khususnya Howard Gardner, dan Thomas Amstrong, yang selalu memberikan support
kepada Munif Chatib untuk berani menerapkan multiple intelligences dalam
dunia pendidikan di Indonesia. Apalagi setelah Howard Gardner, dan Thomas
Amstrong, memberikan data tentang banyaknya sekolah yang berhasil menerapkan MI (multiple
intelligences) di beberapa negara. Keberhasilan itu tidak hanya terlihat di
Amerika Serikat, tetapi juga di Cina, India, Singapura, dan beberapa negara
Asia lainnya.
Pada kenyataan di lapangan, suatu ruangan
kelas, ketika pelaksanaan kegiatan pembelajaran berlangsung, sehari-hari tampak
beberapa atau sebagian besar peserta didik belum melakukan kegiatan belajar
sewaktu guru mengajar. Selama kegiatan pembelajaran, guru belum memberdayakan
seluruh potensi dirinya sehingga sebagian besar peserta didik belum mampu
mencapai kompetensi individual yang diperlukan untuk mengikuti pembelajaran
berikutnya. Beberapa peserta didik belum belajar sampai pada tingkat pemahaman.
Peserta didik belum mampu mempelajari fakta, konsep, prinsip, hukum, teori dan
gagasan inovatif lainnya pada tingkat ingatan, mereka belum dapat menggunakan
dan menerapkannya secara efektif dalam pemecahan masalah sehari-hari yang
bersifat kontekstual.
Jikalau masalah hal diatas tadi, dibiarkan
secara terus-menerus, maka lulusan sekolah sebagai generasi penerus bangsa akan
sulit untuk bersaing dengan lulusan dari negara-negara lain. Lulusan yang
diperlukan tidak hanya sekedar mampu mengingat dan memahami informasi, tetapi
juga mampu menerapkannya secara kontekstual melalui beragam kompetensi. Di era
globalisasi sekarang ini, diperlukan sebuah keanekaragaman keterampilan agar peserta
didik mampu memberdayakan dirinya untuk menemukan, menafsirkan, menilai, dan
menggunakan informasi, serta melahirkan sebuah gagasan yang kreatif untuk
menentukan sikap dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, diperlukan
kemampuan profesional guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran yang lebih
efektif dan efesien.
Oleh karena itu, jika ditinjau berdasarkan
uraian di atas, maka penulis berpendapat bahwa terdapat adanya suatu
kesalahpahaman dari para pendidik di Indonesia dalam mendefinisikan sebuah multiple intelligences dengan
benar. Dan hasil dari pendefinisian terebut adalah bahwa sistem penerapan
pembelajaran berbasis multiple intelligences tersebut tidak sama dengan
penerapan multiple intelligences yang dilakukan dan dikemukakan oleh Munif
Chatib.
Disamping itu, penulis merasa perlu untuk
mengkaji dan menganalisis lebih dalam mengenai sebuah permasalahan atas
kesalahpahaman dalam mendefinisikan “multiple intelligences”, agar para
pendidik tidak terjebak dalam memaknakan multiple intelligences di dunia
pendidikan dalam aspek pembelajaran yang sesungguhnya.
Dengan demikian, dalam hal ini, penulis sangat
tertarik untuk mengkaji dan menganalisis lebih dalam mengenai bagaimanakah
sistem pembelajaran berbasis multiple intelligences yang seharusnya diterapkan di Indonesia dengan
benar. Dalam penulisan tesis ini, penulis akan meneliti mengenai tokoh yang
bernama Munif Chatib dalam konsep pembelajaran berbasis multiple
intelligences.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas, maka penelitian ini
dapat dirumuskan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian, antara lain sebagai
berikut:
1. Apa itu multiple intelligences?
2. Bagaimana pokok-pokok pikiran Munif Chatib tentang multiple intelligences?
3. Bagaimana konsep pembelajaran berbasis multiple intelligences dalam perspektif Munif Chatib?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang:
a. Multiple intelligences
b. Pokok-pokok pikiran Munif Chatib tentang multiple intelligences.
c. Konsep pembelajaran berbasis multiple
intelligences dalam
perspektif Munif Chatib.
2.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan:
a. Gambaran tentang multiple intelligences
b. Pengetahuan pokok-pokok pikiran Munif Chatib tentang multiple intelligences.
c. Manfaat tentang konsep pembelajaran berbasis multiple intelligences dalam perspektif Munif Chatib.
D.
Kerangka Pemikiran
Multiple intelligences merupakan koreksi
terhadap konsep kecerdasan seseorang berdasarkan pada Intelligences Quotient
(IQ) yang hanya mengukur kemampuan seseorang hanya berdasarkan pada
linguistik, matematik logis dan spasial saja. Sedangkan menurut Howard Gardner
manusia mempunyai kemampuan jamak yaitu verbal/linguistic,
logical/mathematical, visual/spatial, intrapersonal, interpersonal,
musical/rhythmic, bodily/kinesthetic, dan naturalist. Selain itu
juga ada kecerdasan spiritual dan accentual. Setiap individu memiliki
kecerdasan tersebut, tetapi dalam tingkat yang berbeda-beda. Oleh karena itu
dalam pembelajaran dengan mengembangkan keseluruhan kecerdasan itu menjamin
peserta didik menjadi juara. (Bambang Warsita, 2008: 84)
Howard Gardner menjelaskan bahwa intelligensi
mengandung berbagai konstruk yang independen satu sama lain, jadi bukan saja
dibentuk dari satu konstruk tunggal saja. (Robert J. Stenberg, 2008: 472)
Munif Chatib dalam buku tentang “Gurunya
Manusia“ (2012:133) menjelaskan bahwa ketika ia mengadakan setiap kali
pelatihan tentang multiple intelligences di banyak tempat, ia selalu
mengatakan kepada orangtua dan guru bahwa merekalah yang kurang kreatif
mengikuti kemauan otak anak yang sedang berkembang pesat. Orang tua dan guru
seyogianya hanya berpikir dan melakukan “tindakan pengamanan” tanpa harus
mencegah aktivitas anak yang ingin mengetahui sesuatu.
Dalam buku “Sekolahnya Manusia” (2012:
77-78), Munif Chatib menjelaskan bahwa di dalam multiple intelligences terdapat metode discovering ability,
artinya proses menemukan kemampuan seseorang. Metode ini meyakini bahwa setiap
orang pasti memiliki kecenderungan jenis kecerdasan tertentu. Kecenderungan
tersebut harus ditemukan melalui pencarian kecerdasan.
Jika yang ditemukan adalah kelemahan dalam
satu jenis kecerdasan, maka kelemahan itu harus dimasukkan ke laci dan dikunci
rapat-rapat. Multiple intelligences bertujuan untuk mempromosikan
kemampuan atau kelebihan seorang anak dan mengubur ketidakmampuan atau
kelemahan anak. Proses menemukan inilah yang menjadi sumber kecerdasan seorang
anak.
Howard Gardner dalam bukunya yang berjudul “Frames of Mind” pada 1983 yang dikutip oleh Munif Chatib dalam
bukunya “Sekolah Anak-anak Juara”
(2012: 78-79) menjelaskan bahwa ragam kecerdasan dipengaruhi oleh budaya tempat
kita dilahirkan sehingga kecerdasan tidak lagi ditafsirkan sebagai kata tunggal
dalam wacana kognitif. Menurut Gardner:
salah besar apabila kita mengasumsikan bahwa IQ adalah suatu entitas
atau besaran tunggal dan tetap, yang bisa diukur dengan tes menggunakan pensil
dan kertas. Pendefinisian ulang tentang kecerdasan yang dicetuskan oleh Howard
Gardner memperkuat perspektifnya tentang kecerdasan kognitif manusia dan ini
menyadarkan kita, betapa kecerdasan memiliki spektrum yang sangat luas, bahkan
menembus dimensi emosionalitas dan spiritualisme, yang didalamnya bersemayam
kemampuan imajinasi, kreativitas, dan problem
solving.
Munif Chatib dalam buku“Sekolah
Anak-anak Juara” (2012: 79-80) menjelaskan bahwa menurut Gardner, kecerdasan
seseorang meliputi unsur-unsur kecerdasan matematika logika, kecerdasan bahasa,
kecerdasan musikal, kecerdasan visual spasial, kecerdasan kinestetik,
kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.
Adapun nama jenis-jenis kecerdasan diatas tersebut tidak berkorelasi
langsung dengan nilai yang diperoleh pada pelajaran tertentu karena multiple intelligences bukan bidang
studi dan bukan pula kurikulum. Kemiripan nama-nama kecerdasan tidak
menunjukkan nama bidang studi. Multiple
intelligences merupakan pengenalan peserta didik untuk menentukan strategi
mengajar guru.
Maka penulis menyimpulkan bahwa setiap orang pasti memiliki kecenderungan
jenis kecerdasan tertentu. Dan didalam kecenderungan tersebut harus ditemukan
dengan melalui pencarian kecerdasan. Dan tentunya bahwa di dalam menemukan
kecerdasan seseorang, adalah bahwa seorang anak harus dibantu oleh
lingkungannya, baik orang tua, guru, sekolah, maupun sistem pendidikan yang diimplementasikan
di suatu negara.
Kegiatan pembelajaran dilakukan
oleh dua orang pelaku, yang pertama yaitu peserta didik dan yang kedua yaitu
guru. Perilaku guru adalah mengajar dan perilaku peserta didik adalah belajar. Pembelajaran adalah
proses dimana pengalaman yang dilalui membawa kepada perubahan yang signifikan
bagi ilmu pengetahuan atau tingkah laku. (Wahidin, 2008: 104)
Eveline Siregar & Hartini Nara dalam bukunya “Teori Belajar dan
Pembelajaran” (2010: 12-14) menjelaskan bahwa orang
yang bergerak dalam bidang pendidikan dan pelatihan, istilah “proses belajar
mengajar” atau “kegiatan belajar mengajar” adalah yang tidak asing lagi. Dalam
kedua istilah tersebut kita lihat, adanya dua istilah yaitu “belajar” dan
“mengajar”. Keduanya seolah-olah tak terpisahkan satu sama lain, ada anggapan bahwa
kalau ada proses belajar tentulah ada proses mengajar. Seseorang belajar karena
ada yang mengajar. Tetapi benarkah itu? Kalau mengajar kita pandang sebagai
satu-satunya kegiatan atau proses yang dapat menghasilkan belajar pada diri
seseorang, pendapat tersebut tidaklah benar. Proses belajar dapat terjadi kapan
saja terlepas dari ada yang mengajar atau tidak. Proses belajar terjadi karena
adanya interaksi individu dengan lingkungannya. Karena itu istilah
“pembelajaran” mengandung makna yang lebih luas daripada “mengajar”,
pembelajaran merupakan usaha yang dilaksanakan secara sengaja, terarah dan
terencana, dengan tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu sebelum proses
dilaksanakan, serta pelaksanaannya terkendali, dengan maksud agar terjadi
belajar pada diri seseorang.
Kokom Komalasari
(2010: 3) menjelaskan bahwa pembelajaran merupakan suatu sistem atau proses
membelajarkan subjek didik/pembelajar yang direncanakan atau didesain,
dilaksanakan dan dievaluasi secara sistematis agar subjek didik/pembelajar
dapat mencapai tujuan-tujuan secara efektif dan efisien.
Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas Pasal I Ayat 20, menjelaskan bahwa pembelajaran adalah proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar.
Proses
pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas
peserta didik, melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar. Namun dalam
pelaksanaannya seringkali kita tidak sadar, bahwa masih banyak kegiatan
pembelajaran yang dilaksanakan justru menghambat aktivitas dan kreativitas
peserta didik. (E. Mulyasa, 2010: 164)
Penulis dapat
menyimpulkan bahwa sejatinya pembelajaran merupakan suatu proses interaksi
antara guru dengan peserta didik, baik interaksi secara langsung, yaitu dengan
menggunakan berbagai media pembelajaran. Dan terjadinya perilaku belajar pada
pihak peserta didik dan perilaku mengajar pada pihak guru tidak berlangsung
dari satu arah, melainkan terjadinya secara timbal balik, dimana kedua pihak
berperan dan berbuat secara aktif di dalam suatu ruang kelas.
Salah satu permasalahan pendidikan yang menjadi prioritas untuk segera
dicari pemecahannya adalah masalah kualitas pendidikan, khususnya kualitas
pembelajaran. Dari berbagai kondisi dan potensi yang ada, upaya yang dapat
dilakukan berkenaan dengan peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah adalah
mengembangkan pembelajaran yang berorientasi pada peserta didik dan memfasitasi
kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang berkelanjutan. (Rusman, 2011: 379)
Martinis Yamin dalam bukunya “Paradigma
Baru Pembelajaran” (2011: 69-70) menjelaskan bahwa pembelajaran tidak
diartikan sebagai sesuatu yang statis, melainkan suatu konsep yang bisa
berkembang seirama dengan tuntutan kebutuhan hasil pendidikan yang berkaitan
dengan kemajuan ilmu dan tekhnologi yang melekat pada wujud pengembangan
kualitas sumber daya manusia. Dengan demikian, pengertian pembelajaran yang
berkaitan dengan sekolah adalah kemampuan mengelola secara operasional dan
efisien terhadap komponen-komponen yang berkaitan dengan pembelajaran, sehingga
menghasilkan nilai tambah terhadap komponen tersebut menurut norma/standar yang
berlaku. Adapun komponen yang dimaksud adalah antara lain, yaitu pembelajar,
peserta didik, pembina sekolah, sarana/prasarana dan proses pembelajaran.
Pada pelaksanaan pembelajaran, banyak variabel yang mempengaruhi
kesuksesan seorang guru. Penguasaan dan keterampilan guru dalam penguasaan
materi pembelajaran dan strategi pembelajaran tidak menjadi jaminan untuk mampu
meningkatkan hasil belajar peserta didik secara optimal. Secara umum ada
beberapa variabel, baik teknis maupun non teknis yang berpengaruh dalam
keberhasilan proses pembelajaran. Diantara beberapa variabel tersebut adalah:
1) kemampuan guru dalam membuka pelajaran; 2)kemampuan guru dalam melaksanakan
kegiatan inti pembelajaran; 3) kemampuan guru melakukan penilaian pembelajaran,
4) kemampuan guru menutup pembelajaran, dan; 5) faktor penunjang lainnya. (Made
Wena, 2010: 17-18)
Munif Chatib dalam buku “Sekolahnya Manusia” (2012:44)
menjelaskan bahwa jika pembelajaran berbasis multiple intelligences ini diterapkan di sekolah, maka ada dampak
positif dan negatifnya. Apabila ditinjau
dari sisi positifnya, bahwa MI adalah sistem pembelajaran yang sangat
unik, menyenangkan, dan anak-anak terlibat langsung. Jadi, murid tidak hanya
dijuluki d3, yaitu duduk, diam, dengar. Melainkan, dengan pembelajaran yang
lebih sering di luar kelas, entah itu permainan, kuis, diskusi, menyanyi,
menari, dan cara-cara pembelajaran yang menarik sehingga
anak-anak merasa menikmatinya. Sedangkan, sisi negatif dari pembelajaran
berbasis multiple intelligences
adalah anak-anak terbiasa dengan sistem pembelajaran yang lebih mengutamakan
aspek psikomotorik, sehingga dengan aspek tersebut mereka akan cepat bosan dan
tidak begitu suka apabila menggunakan ranah kognitif.
Penulis menyimpulkan bahwa pembelajaran berbasis multiple intelligences adalah pembelajaran yang didalamnya terdapat
berbagai macam jenis metode pembelajaran yang sangat bervariasi dan pembelajaran
tersebut membuat kegiatan belajar sangat menyenangkan bagi peserta didik. Dalam
pembelajaran berbasis multiple
intelligences dibutuhkan kreativitas yang tinggi oleh para pendidiknya.
Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences
|
Konsep Multiple Intelligences
|
Konsep Pembelajaran
|
E.
Tinjauan Pustaka
Dari hasil penelitian mengenai “Faktor-faktor
Kematangan Siswa dan Aplikasi teori kecerdasan Majemuk terhadap prestasi
belajar peserta didik di Sekolah Dasar Islam Terpadu Insan Rabbani Bekasi Barat”
(Roro Bintang Lukitan Ningrum, Tesis, IMNI Jakarta, 2011) disebutkan bahwa faktor
kematangan peserta didik dipengaruhi oleh banyak hal. Walaupun sesungguhnya
usia tidak memiliki pengaruh yang cukup kuat, namun hal-hal lain seperti pola
asuh dalam keluarga dan media massa dapat memberikan dampak terhadap kematangan
peserta didik. Dan aplikasi teori kecerdasan majemuk sangat berpengaruh kepada
pencapaian prestasi belajar peserta didik. Hal ini dapat dilihat pada
prosentase peningkatan prestasi belajar selama dua semester berturut-turut.
Bertitik tolak pada hasil penelitian tersebut, disampaikan beberapa saran
sebagai berikut:
1. Dalam melaksanakan Tes kematangan peserta didik hendaknya diperhatikan
faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan peserta didik serta latar belakang
kondisi peserta didik serta situasi lokasi ketika tes tersebut dilakukan
sehingga hasilnya akan lebih mewakili kemampuan peserta didik yang sebenarnya
2. Aplikasi teori kecerdasan majemuk membutuhkan kreatifitas pendidik dalam
pengolahan segala sesuatu agar dapat dijadikan media pembelajaran. Untuk itu
diperlukan kompetensi dan pengetahuan yang tinggi, demi mencapai hasil yang
lebih baik lagi. Sebaiknya setiap pendidik tidak merasa puas dengan sekedar
mengetahui dan melaksanakannya tanpa bekal pelatihan dan wawasan yang terus
bertambah dari waktu ke waktu.
3. Prestasi belajar peserta didik selayaknya tidak hanya dijabarkan dalam
angka-angka, melainkan juga dalam bentuk narasi yang lebih mampu menjelaskan
kemampuan masing-masing peserta didik, sehingga tampak jelas kecerdasan apa
yang mereka miliki dan berpotensi untuk dikembangkan.
Siti Rohmah (Skripsi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009) dalam
penelitiannya yang berjudul “Teori
Kecerdasan Majemuk Howard Gardner Dan Pengembangannya Pada Metode Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam Untuk Anak Usia Sekolah Dasar” menjelaskan bahwa:
1. Setiap individu pada dasarnya memiliki banyak kecerdasan yang harus
dikembangkan sejak usia dini minimal sekolah dasar. Minimal ada sembilan
kecerdasan yang dimiliki manusia, yaitu kecerdasan linguistik, matematis-logis,
ruang-spasial, kinestetik-badani, musikal, interpersonal, intra personal,
naturalis, dan eksistensial.
2. Pengembangan kecerdasan majemuk pada metode pembelajaran PAI untuk anak
usia sekolah dasar membutuhkan kreativitas seorang guru, baik dalam mengatur,
merencanakan, maupun menerapkan metode-metode tersebut. Adapun hasil dari
penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis konsep
kecerdasan majemuk menurut Howard Gardner untuk mencari cara pengembangan
kecerdasan majemuk tersebut pada metode pembelajaran PAI untuk anak usia
sekolah dasar.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Bairus Salim (Tesis, IAIN
Sunan Ampel Surabaya, 2008) berjudul: ”Pembelajaran
Berbasis Multiple Intelligences (Tela’ah Dari Sudut Pandang Pendidikan Islam)”menjelaskan
bahwa:
1. Kecerdasan menurut teori multiple
intelligences tidak saja dapat diukur oleh kemampuan matematika, logika dan
bahasa sebagaimana konsep kecerdasan klasik, melainkan setidaknya ada delapan
kecerdasan manusia yang dapat dikembangkan. Kedelapan jenis kecerdasan tersebut
adalah kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis-logis, kecerdasan
visual-spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan musik, kecerdasan
interpersonal, kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan naturalis.
2. Teori multiple intelligences
pada perkembangannya tidak saja merubah paradigma berfikir tentang kecerdasan
tetapi juga menjelma menjadi metode pembelajaran yang inovatif dan kreatif
sehingga proses pembelajaran dapat menyenangkan dan tidak monoton.
3. Metode pembelajaran multiple
intelligences memiliki relevansi yang erat dengan metode pendidikan Islam,
hanya saja konsep dasar teori multiple
intelligences tidak seutuh pendidikan Islam. Kendati demikian, metode multiple intelligences berkembang pesat
sehingga tampak lebih inovatif dan kreatif, tidak seperti metode pendidikan
Islam yang terkesan lambat dan konservatif.
Penelitian pada tahun 2009 yang dilakukan oleh Miftahul Jannah (Tesis,
IAIN Sunan Ampel Surabaya) yang berjudul tentang: “Implementasi Multiple Intelligences System Pada Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam Di SMP Yayasan Islam Malik Ibrahim (YIMI) Full Day
School Gresik Jawa Timur” menjelaskan bahwa:
1. Pengelolaan pembelajaran PAI di SMP YIMI Gresik dibuat dengan berdasarkan
Multiple Intelligences System. Akan
tetapi, tidak seluruhnya dilakukan secara sempurna dan mandiri karena SMP YIMI
Gresik, dalam beberapa hal, harus mengikuti ketentuan dari Departemen
Pendidikan Nasional (Diknas), seperti kurikulum dan sistem evaluasi (penilaian)
peserta didik. Secara umum, pengelolaan pembelajaran PAI sudah berlangsung
dengan baik. Hal ini didasarkan pada pola pemikiran yang komprehensif dalam
mengelola pembelajaran sehingga lebih efektif dalam pencapaian tujuan
pembelajaran. Hal tersebut tampak dari penyusunan rencana pembelajaran/Lesson Plan, penyusunan materi,
metode/media, guru, penilaian, dan pelaksanaan pembelajaran di kelas.
2. Kelebihan penerapan Multiple
Intelligences System pada pembelajaran PAI antara lain: memudahkan
pencapaian tujuan pembelajaran, terciptanya joyfull
learning, dan menjadikan guru lebih kreatif. Adapun kekurangannya adalah bahwa
penilaian sebagaimana dikonsepkan dalam strategi Multiple Intelligences System, yaitu penilaian autentik, belum bisa
dilaksanakan disebabkan terkendala kebijaksanaan Diknas, dan pelaksanaan MIR
yang seharusnya setiap kenaikan kelas, hanya dapat dilaksanakan pada tahun
pertama.
Dalam aspek yang sama yakni multiple
intelligences, penelitian yang dilakukan pada tahun 2011 oleh Eni Purwati
dalam penulisan disertasinya yang berjudul: “Pendidikan
Islam Berbasis Multiple Intelligences System (Studi Pada SMP YIMI Gresik Dan MTs. Yima Bondowoso Jawa Timur) yang menjelaskan bahwa:
1. Pengelolaan input pendidikan berbasis Multiple Intelligences System di SMP YIMI Gresik dan MTs. YIMA
Bondowoso dilaksanakan dengan pendidikan inklusi dengan paradigma education for All; salahsatunya yaitu
sistem rekrutmen peserta didik baru tanpa tes, jumlah peserta didik baru yang
diterima dibatasi jumlah daya tampung kelas yang
disediakan.
2. Proses pembelajaran berbasis Multiple
Intelligences System di SMP YIMI Gresik dan MTs. YIMA Bondowoso ini
dilaksanakan salahsatunya dengan penyusunan Lesson
Plan berdasarkan hasil MIR dan SOP konsultasi Lesson Plan, dengan memperhatikan 8 kecerdasan tertinggi, gaya
belajar, dan kondisi peserta didik.
3. Output pendidikan
berbasis Multiple Intelligences System
di SMP YIMI Gresik dan MTs. YIMA Bondowoso dilaksanakan dengan konsep penilaian
Otentik dan Isaptive.
Penelitian pada tahun 2010 yang dilakukan oleh Salim Haddar (Skripsi,
Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang) yang berjudul: “Penerapan Konsep Multiple Intelligences
Dalam Mewujudkan Sekolah Unggul” (Studi Kasus Di SD YIMA Islamic School
Bondowoso)” menjelaskan bahwa:
1. Desain konsep multiple
intelligences di SD YIMA Islamic
School Bondowoso secara global meliputi tiga tahap penting yaitu input, proses dan output. Pada input,
sekolah ini menggunakan Multiple
Intelligence Research (MIR) yaitu semacam alat riset psikologis yang
mengeluarkan deskripsi kecenderungan kecerdasan majemuk anak dan gaya
belajarnya. Pada proses, gaya mengajar gurunya harus sama dengan gaya belajar
peserta didiknya. Pada proses ini guru menggunakan pendekatan individual sesuai
dengan kecerdasan peserta didik pada saat mengajar. Sedangkan pada output, sekolah ini menggunakan
penilaian autentik, yaitu penilaian berbasis proses yang menilai sosok utuh
seorang peserta didik dari 3 ranah yaitu kognitif, psikomotorik dan afektifnya.
2. Implementasi konsep multiple
intelligences di SD YIMA Islamic School Bondowoso sudah berjalan
sangat baik. Dalam hal ini dapat dilihat dari 3 tahap penting yaitu input, proses dan output.
3. Evaluasi dari pengimplementasian Konsep multiple intelligences di SD YIMA Islamic School Bondowoso secara keseluruhan terletak pada efektivitas
kinerja guru dalam mengajar menggunakan konsep multiple intelligences, jadi evaluasi ini dilihat sejauhmana
seorang guru berhasil dalam menerapkan metode atau gaya mengajar sesuai multiple intelligences peserta didik. Secara
tekhnis pelaksanaan evaluasi di SD YIMA terbagi menjadi tiga tahap yaitu:
Konsultasi Lesson Plan (Rencana
Pembelajaran), Observasi Kelas, dan Feed
back.
Penelitian pada tahun 2012 yang dilakukan oleh Nanda Dewannata Kusuma
Yochasmana (Skripsi, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta) yang
berjudul: “Perancangan Aplikasi Tes
Multiple Intelligences” menjelaskan bahwa: pentingnya pendidikan bagi kehidupan
bila diimbangi minat yang sesuai dengan keinginan kita. Terkadang orang tua
tidak mengetahui bakat yang dimiliki anaknya. Dan penulis merancang dari sebuah
permasalahan yang ada, yakni aplikasi tes multiple
intelligences yang dapat diakses melalui web dengan menggunakan bahasa
pemprograman PHP, MySql dan Java Script. Dengan aplikasi ini akan memberikan
informasi mengenai potensi apa yang lebih unggul dan kurang dari 8 tingkat
kecerdasan yang terdapat di dalam diri siswa yang mengikuti tes multiple intelligences.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang sudah dilakukan terlebih
dahulu apabila dikaji secara ilmiah, maka penulis dapat mengambil sebuah kesimpulan
bahwa penelitian tersebut hanya menjelaskan tentang berbagai jenis pembelajaran
berbasis multiple intelligences yang kini belum ada yang
menulis sebuah karya ilmiah sampai pada tulisan yang mengkaji tentang konsep pembelajaran
berbasis multiple intelligences dalam perspektif kajian
tokoh.
Dan kajian pemikiran dari tokoh yang bernama
Munif Chatib tersebut belum pernah ditulis dalam bentuk judul yang sama. Penelitian ini tentu saja berbeda dengan penelitian
yang dilakukan sebelumnya, karena penelitian yang dilakukan oleh penulis ini
mencoba menjelaskan tentang kajian pemikiran seorang tokoh pendidikan yang
menjadi inspirasi bagi bangsa Indonesia, Munif Chatib. Ia merupakan salah satu
murid dari Bobbi DePorter di SuperCamp yang kini tengah sukses menjadi pakar multiple intelligences yang ada di Indonesia.
F.
Signifikansi Penelitian
Terdapat tiga signifikansi penelitian dalam tulisan tesis ini,
diantaranya yaitu sebagai berikut:
1.
Kontribusi peneliti bagi
pengembangan penelitian selanjutnya
Peneliti berpendapat bahwa meneliti kelebihan seseorang adalah sangat
penting sebab Allah SWT. Telah memberi kelebihan satu diatas yang lain agar
kita saling melengkapi, menyempurnakan dan memperindah. Sebagaimana Firman
Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Zukhruf
ayat 32:
óOèdr&
tbqßJÅ¡ø)tƒ
|MuH÷qu‘
y7În/u‘
4
ß`øtwU
$oYôJ|¡s%
NæhuZ÷t/
öNåktJt±ŠÏè¨B
’Îû
Ío4quŠysø9$#
$u‹÷R‘‰9$#
4
$uZ÷èsùu‘ur
öNåk|Õ÷èt/
s-öqsù
<Ù÷èt/
;M»y_u‘yŠ
x‹Ï‚Gu‹Ïj9
NåkÝÕ÷èt/
$VÒ÷èt/
$wƒÌ÷‚ß™
3
àMuH÷qu‘ur
y7În/u‘
׎öyz
$£JÏiB
tbqãèyJøgs†
ÇÌËÈ
Yang
artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi
Rahmat Rabbmu Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam
kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang
lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang
lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (Departemen
Agama, 2000: 798)
Apalagi di dunia pendidikan yang sangat dinamis dan dituntut solutif maka
penelitian ini untuk mengungkap kelebihan seorang tokoh yang bernama Munif
Chatib untuk dijadikan model sebagai sumber inspirasi adalah sesuatu yang
sangat penting.
Peneliti melihat bahwa dengan menerapkan sistem pembelajaran berbasis multiple intelligences yang dilakukan oleh Munif Chatib tersebut, maka akan terjadi salah satu perubahan paradigma
pembelajaran pada saat dulu. Hal tersebut disebabkan bahwa pada saat itu,
orientasi pembelajaran yang semula berpusat pada guru, kini beralih berpusat
pada murid, metodologi yang semula lebih didominasi ekspositori berganti ke
partisipatori, dan pendekatan yang semula lebih banyak bersifat tekstual
berubah menjadi kontekstual. Dengan demikian, dengan adanya semua perubahan
tersebut, tujuannya tidak lain adalah dimaksudkan untuk memperbaiki mutu pendidikan,
baik dari segi proses maupun hasil dari pendidikan itu sendiri.
Penelitian pembelajaran berbasis multiple
intelligences ini, peneliti menggunakan penelitian yang bersifat
kualitatif, Oleh karena itu, untuk para peneliti selanjutnya yang hendak akan
melakukan pengembangan penelitian mengenai pembelajaran berbasis multiple intelligences, diharapkan bisa
melakukan penelitian yang bersifat kuantitatif, agar analisis hasilnya lebih
mendalam. Dan akhirnya dalam penelitian mengenai pembelajaran berbasis multiple
intelligences ini, akan lebih dirasakan dan diterapkan oleh semua kalangan,
khususnya di dunia pendidikan.
2.
Bagi dunia Pendidik Secara
Umum
Pembelajaran berbasis multiple
intelligences merupakan hal yang sangat penting bagi para pendidik karena
dalam proses pembelajaran tersebut akan lebih variatif, inovatif, dan
konstruktif dalam merekonstruksi wawasan pengetahuan dan implementasinya
sehingga dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas peserta didik.
3.
Bagi Pengajar
Pembelajaran berbasis multiple
intelligences merupakan hal yang sangat penting bagi para pengajar karena
untuk mempelajari dan menambah wawasan tentang model pembelajaran yang telah
diketahui. Karena dengan memakai sistem pembelajaran berbasis multiple intelligences, maka seorang
guru akan merasakan adanya kemudahan di dalam pelaksanaan pembelajaran di
kelas, sehingga tujuan pembelajaran yang hendak dicapai dalam proses
pembelajaran dapat tercapai dan tuntas sesuai yang diharapkan.
G.
Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam
penulisan tesis ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif (Library
Research) yaitu dengan mencoba memperoleh pemahaman yang holistic tentang masalah yang sedang
dihadapi secara realitas. Metode penelitian ini muncul karena terjadi perubahan
paradigma dalam memandang suatu realita atau fenomena atau gejala. (Sugiyono,
2010: 1)
Metode penelitian kualitatif ini adalah dengan menggunakan metode
penelitian studi biografis yang
bersifat “library research”. Secara
formal, dalam buku Handbook Of
Qualitative Research menjelaskan bahwa biografi adalah “sejarah tertulis
tentang kehidupan seseorang”. (Norman K. Denzin & Yvonna S. Lincoln, 2009:
366).
Penelitian yang penulis lakukan, sesuai dengan masalah yang diteliti,
adalah bersifat “library research”atau
studi kepustakaan, yaitu melalui berbagai sumber rujukan baik yang primer
maupun yang sekunder.
Data primer adalah tulisan-tulisan Munif Chatib sendiri, seperti: Sekolahnya manusia, Sekolah anak-anak juara,
Orangtuanya Manusia, Gurunya Manusia, dan lain-lain. Sedangkan data
sekunder adalah tulisan orang lain mengenai pembelajaran berbasis multiple intelligences.
Adapun langkahnya sebagai berikut: Pertama, pengumpulan sumber-sumber
rujukan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Kedua, menganalisa
data-data yang ada di dalam sumber-sumber rujukan secara mendalam dengan
pendekatan dan metode:
1. Observasi. Dalam observasi ini, peneliti bertujuan untuk melihat objek secara
nyata tentang salahsatu contoh sekolah yang menggunakan pembelajaran berbasis multiple intelligences. Observasi di
salahsatu sekolah yang berbasis multiple
intelligences, yaitu SMP Lazuardi Global Islamic School Jakarta.
2. Wawancara. Wawancara dengan guru, trainer dan dengan Munif Chatib yaitu
dilakukan dengan cara mengikuti adanya pelatihan-pelatihan dan seminar tentang multiple intelligences.
3. Pendekatan historis, digunakan untuk mengungkap riwayat hidup, latar
belakang pendidikan, pokok-pokok pemikiran Munif Chatib.
4. Deskriptif analisis, yaitu memberi gambaran obyektif, jelas, sistematis,
dan proporsional sesuai dengan data yang terkumpul.
5. Cara mengambil kesimpulan dengan menggunakan induksi dan deduksi. Metode
induksi dilakukan dengan jalan mengambil kesimpulan dari hal yang bersifat
khusus menuju ke hal yang bersifat umum. Sedangkan metode deduksi, yaitu
berangkat dari hal yang sifatnya khusus.
Selain itu, wilayah kajian dalam penelitian tesis ini adalah psikologi pendidikan.
(Jamali Sahrodi, dkk., 2012: 47)
H.
Sistematika Penulisan
Bab Pertama, merupakan bab Pendahuluan, yang memuat latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran,
tinjauan pustaka, signifikansi penelitian, metodologi penelitian, sistematika
pembahasan.
Bab Kedua, membahas tentang multiple Intelligences, geneologi
konsep multiple intelligences (MI) Munif Chatib.
Bab Ketiga, merupakan bab yang membahas secara teoritik mengenai
pokok-pokok pemikiran Munif Chatib tentang multiple
intelligences.
Bab Keempat, adalah bab yang didalamnya akan diuraikan secara praktis
mengenai konsep multiple intelligences
dalam perspektif Munif Chatib yang menguraikan tentang: Kontekstualisasi
Multiple Intelligences (MI) dalam
pembelajaran di sekolah.
Bab Kelima, pada bab ini merupakan bagian penutup yang terdiri dari
kesimpulan dan saran.
0 comments:
Post a Comment