Sunday, June 14, 2015

Perlunya Perempuan Berpendidikan



Perlunya Perempuan Berpendidikan
Oleh: Uswatun Hasanah, M.Pd.I.*
Tanggal 21 April merupakan tanggal dan bulan lahirnya sosok perempuan hebat, yang terkenal dengan slogannya yaitu “Habis gelap, terbitlah terang”. Beliau adalah sosok pahlawan Nasional bernama Raden Ajeng Kartini. Adanya RA.Kartini telah membawa banyak perubahan positif bagi kaum perempuan di Indonesia. Karena dari jasa beliaulah dalam memperjuangkan emansipasi perempuan, lalu generasi abad 21 untuk menjadi Kartini mesti bagaimana, dan apa yang patut diupayakan?!
Hal demikian tentunya, salah satu yang harus dilakukan adalah “Perlunya perempuan dalam berpendidikan”. Mengapa demikian? Karena perempuan merupakan pendidik utama bagi anak-anaknya. Jika perempuan memperoleh kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam mengenyam di dunia pendidikan, niscaya akan lahirlah bayi-bayi yang cerdas. Dan tumbuhlah anak-anak yang berpotensi kebaikan dan kecerdasan, yang kelak jika ia dewasa, ia bisa menjadi seseorang yang bermanfaat buat dirinya sendiri dan orang lain. Hal tersebut merupakan salah satu usaha agar bangsa dan negaranya menjadi lebih maju dan berkembang.
 Pada zaman sekarang ini, sebagian besar masyarakat masih mencitrakan sosok perempuan sebagai makhluk yang tidak penting dan banyak yang menganggap bahwa perempuan hanya menjadi pelengkap hidup. Dengan mendapati citra yang negative pada sosok perempuan ini, maka akses untuk kaum perempuan dalam memperoleh pendidikan yang tinggi pun sangat terbatas. Selain itu juga perempuan masih dianggap sebagai sebuah pelengkap, entah perempuan tersebut posisinya itu sebagai ibu, istri, atau remaja perempuan.
Penulis melihat, dalam realita sekarang, sebagian masyarakat memandang bahwa perempuan semestinya selalu berhadapan dengan dunia SKD, yaitu Sumur, Kasur, dan Dapur, yang intinya posisi perempuan selalu menetap berada di dalam rumah. Dan kenyataan dalam pengalaman membuktikan bahwa “perempuan yang tidak pernah mengenyam dunia pendidikan, saat perempuan sudah berkeluarga, perempuan tersebut cenderung rawan mengalami masalah KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Selain itu, terkadang mereka dihadapi dengan masalah perceraian dalam rumah tangganya dikarenakan factor ekonomi, karena yang bekerja di luar rumah hanyalah laki-laki, perempuan hanya berada di rumah”.
Penulis menganggap bahwa sepertinya perempuan menghirup nafas ke dunia diibaratkan sebagai hidangan makanan bagi kaum laki-laki untuk dapat menopang kehidupannya. Pencitraan perempuan sebagai manusia pelengkap bagi kaum laki-laki, dapat mendorong perempuan ke posisi subordinat. Pencitraan subordinasi perempuan dimulai dari padangan terhadap perbedaan biologis. Sosok perempuan jika ditinjau secara fisiologis dan fungsi reproduksinya, dapat dianggap sebagai yang lebih dekat dengan alam (nature) untuk melaksanakan fungsi haid, hamil, melahirkan, menyusui dengan memberikan ASI ekslusif, yang disimbolkan sebagai tanah atau air sebagai sumber kehidupan.
Sampai saat ini masih ada sebagian masyarakat yang berkeyakinan bahwa kemampuan kecerdasan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Sehingga hal ini dapat memarginalkan perempuan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi. Dalam keluarga dengan latar belakang ekonomi yang tinggi sekalipun, kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi perempuan masih terbatas, apalagi pada keluarga dengan latar belakang ekonomi yang lebih rendah.  Masyarakat juga memandang bahwa perempuan dengan fisik yang lebih lemah dan pasif, tidak memungkinkan mereka untuk dapat memenuhi sebanyak dan sekuat aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki. Masyarakat juga berasumsi bahwa pendidikan hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang mau bergerak dengan mobilitas tinggi, yang menghabiskan seluruh waktunya untuk membaca buku, melakukan eksperimen berjam-jam di laboratorium, meneliti di lapangan, menulis dan berdiskusi dalam sisa waktunya, dan jika hal demikian dilakukan oleh seorang perempuan, maka seorang perempuan tadi dianggap dapat menyebabkan mereka kehilangan identitas kewanitaannya. Mengapa bisa demikian? Karena perempuan tersebut tidak memiliki waktu untuk melakukan tugas-tugas kewanitaan di rumah tangga dan keluarganya. Selain itu juga, fisik seorang perempuan yang lemah yang digunakan untuk mobilitas pendidikan seperti laki-laki akan dapat menyebabkan perubahan fisik yang tidak menarik lagi bagi kaum adam atau kaum laki-laki.
Pendidikan yang dipandang oleh masyarakat sebagai pekerjaan berat yang bersifat fisik seolah-olah memerlukan otot yang kuat untuk melakukannya. Selain itu, perempuan dengan peran rumah tangga untuk mengasuh dan merawat anak, tidak perlu memperoleh pendidikan tinggi, melainkan hanya cukup dapat membaca dan menulis sebagai bekal untuk dapat mendidik anak-anak di awal kehidupannya. Masyarakat masih berkeyakinan bahwa pendidikan dan pengajaran bagi perempuan tidak penting, bahkan ada yang mempertanyakan, “Apakah mengajar perempuan itu diperbolehkan di dalam Islam?” Berdasarkan pandangan masyarakat yang masih saja memarginalkan perempuan dalam dunia pendidikan itulah, penulis meninjau dari segi ilmu psikologi, yang diharapkan dapat menjadi “sesuatu yang penting bagi perempuan dalam memperoleh kesempatan berpendidikan yang sama sepertihalnya laki-laki”. Pendidikan yang berasaskan upaya mencerdaskan bangsa adalah pendidikan yang memberi hak yang adil kepada laki-laki maupun perempuan dalam memperoleh pendidikan (yang “bermutu”).
Menurut hemat penulis, bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan itu hanya terletak pada perbedaan jenis kelamin. Perempuan tidak berbeda dengan laki-laki dalam hal fungsi anggota tubuh, perasaan, daya serap, pikiran dan hakikat kemanusiaannya tidak berbeda. Adapun jika dalam kenyataan terjadi bahwa laki-laki mengungguli perempuan dalam segi akal dan jasmani, maka hal tersebut bukan berarti bahwa hakekat perempuan tersebut demikian. Namun, karena perempuan tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk melatih pikiran dan jasmani selama hidupnya, yakni kesempatan dalam memperoleh pendidikan yang tinggi. Selamat hari kartini di tahun 2013, semoga perempuan-perempuan masa kini, bisa menjadi penerus RA. Kartini. Dan semoga tulisan ini bermanfaat!...
*Guru SDN 2 Mertapada Kulon di Lingkungan UPT Pendidikan Kecamatan Astanajapura

0 comments: